Isu jomlo selalu mengemuka sekitar Lebaran. Cara media berita mengemas beragam. Ada yang cuma ambil sisi lucu dari medsos.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Jumlah kepala keluarga berstatus jomlo cenderung naik persentasenya. Ada naik turunnya sih. Sila lihat infografik berikut, dari Kompas 8 Mei 2021. Lho, lebih dari dua tahun lalu?

Ya, saya mendapatinya dari koran yang menjadi alas sementara di depan pintu dapur tadi pagi. Tadi malam saat memasang koran tersebut saya tak membaca teks judul.

Ihwal istilah

Juga tadi, saat memotret koran, yang saya pikirkan malah hal lain: kepala keluarga dan kepala rumah tangga. Apakah keduanya sama atau berbeda makna?

Status sipil warga dalam kependudukan mengenal kepala keluarga. Bahkan kepala keluarga menjadi satuan hitung.

Tanyai saja seorang ketua RT berapa jumlah warga di lingkungannya. Lebih mudah baginya menjawab, “Ada lima puluh KK.” Itu pun dengan catatan, dalam satu rumah bisa ada lebih dari dari satu KK. Namun dalam riset sosio-ekonomi, sampel unit populasi sering kali diwakili oleh rumah tangga. Misalnya, jumlah rumah tangga yang memiliki jamban.

Lalu mana yang benar, nikah atau kawin? Beda ranah beda pilihan kata karena menyangkut rasa bahasa. Pengertian yang netral: nikah adalah ritual pengabsah kawin. Maka ada UU Perkawinan, bukan UU Pernikahan. Status dalam data dukcapil mengenal kawin atau belum kawin (tiada “tidak kawin”), bukan nikah atau belum nikah.

Tetapi jangankan menanya apakah seseorang sudah kawin, karena bertanya apakah sudah menikah saja bisa dianggap tak sopan. Tentu tergantung konteks percakapan. Kadang ada penghalusan kata, yang diawali permintaan maaf, apakah seseorang masih sendiri. Dalam topik khusus kata kawin juga bisa bernuansa primitif: kopulasi, jauh pertautan dengan institusi sosial.

Topik hari raya

“Persoalannya, pernikahan di Indonesia dianggap sebagai achievement (pencapaian) sosial,” kata psikolog klinis peneliti hubungan romantis dari Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Pingkan C.B. Rumondor, dalam artikel tersebut.

Akibatnya, kata Pingkan, sebagus apapun kemapanan ekonomi dan karier yang dimiliki hingga sebaik apapun amal ibadah, semua dianggap tak berarti hanya karena belum menikah.

Lalu kenapa Kompas mengangkat soal nikah tak nikah sebagai laporan panjang dan mendalam, lengkap dengan data? Jika merujuk tanggal terbit, laporan tersebut muncul empat hari sebelum Idulfitri 2021.

Sudah jamak jika pertanyaan soal perkawinan terajukan pada hari raya. Setahun berikutnya, 7 Mei 2022, Kompas kembali mengangkat topik favorit saat Lebaran itu. Juga disertai data.

Persoalan media

Beberapa kawan menanyai saya, mengapa media lain tak seperti Kompas dalam mengemas isu jomlo? Media lain cukup mengangkat sisi lucu dari media sosial, misalnya X dan Instagram, terutama jika menyangkut pesohor.

Jawaban saya serupa Jokowi: “Lha ya jangan tanya saya, tanya aja ke media-media itu.”

Namun karena saya sedikit agak memahami dunia media, ada sejumlah dugaan yang tak saya sampaikan kepada mereka. Misalnya?

  • Setiap media punya target pembaca, dan target menentukan konten
  • Laporan lengkap dan mendalam butuh sumber daya, dari biaya liputan hingga jumlah SDM
  • Di era jurnalisme data, soal sumber daya menjadi kendala, apalagi jika ingin punya data primer yang secara metodologis layak, lalu ditambah tenaga periset dan analis apalagi tim visual, termasuk desainer, fotografer dan videografer
  • Secara bisnis, dengan merujuk target pembaca, konten yang tak mendongkrak trafik, apalagi tak layak sebar maupun diperbincangkan di media sosial, hanya mengundang salut segelintir pembaca, adalah suatu kemewahan karena menghamburkan sumber daya

Semoga empat poin tadi dapat menjawab salah satu penanya, dengan catatan dia membaca pos ini.

Waktu itu dia bertanya, di setiap media berisi sarjana semua, dan untuk topik khusus semisal hari raya, mestinya konten berbobot dapat disiapkan jauh hari, dan seterusnya.

Maka saya tutup pos ini dengan kisah anedoktal. Seorang redaktur media bilang, juragan pun senang jika redaksi dapat membuat konten long form yang sip, asalkan hemat biaya.

“Termasuk dalam biaya adalah gaji kami. Diminta menghasilkan produk plus tapi gajinya pas banderol sesuai khitah media.”

Sampai hari ini saya berharap keluhan dia salah; besar pula.

Catatan kaki pun menyontek

Soal selera terhadap berita, kenapa menyalahkan publik?

Bikin situs berita itu gampang

Berita keperjakaan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *