Kanthi Wulandari uring-uringan. Banyak yang dia keluhkan, bukan semata-mata soal dirinya di-PHK dari media.
Lantas Kamso merumuskan, “Jadi kamu memasalahkan selera publik terhadap berita sudah berubah, dan itu memengaruhi cara media mengemas konten?”
“Jelas, Yang Mulia Mas Kam!”
“Media mengemas informasi itu kan buat dibaca sebanyak-banyaknya orang? Kalau hanya menulis yang mereka mau dan suka, halah nggak beda dari bloger atau orang di FB yang sok tau. Lebih keren band indie yang cuma muasin ego, nggak peduli gigs dan fans, cuma asyik di studio, latihan, rekaman, soalnya punya sumber nafkah lain, tapi ogah dibilang band hobi.”
“Iya sih Mas, ini bisnis. Informasi adalah jualan, kalau disediain gratis harus mendatangkan iklan. Kalo views rendah gimana ngarepin duit bagus?”
“Lha terus piyé….”
Kanthi pun berapi-api, “Bisa nggak sih, dalam sebuah media tuh dari seratus berita yang cuma generik dan ngambil dari IG seleb, ada satu liputan yang mendalam soal lingkungan, HAM, kesehatan, seni, lengkap dengan data, secara interaktif?”
“Generik?”
“Liat aja berita politik dan kriminal. Hampir sama semua. Kayaknya malah ada yang nyontek dari media lain, dimodifikas. Supaya keliatan ori dan beda, judul dijadiin click bait. Juga nggak cuma ngutip omongan orang partai dan pengamat tentang capres.”
“Tapi kalo buat pembaca itu udah cukup, bahkan cuma dari baca judul, apa salahnya? Dari dunia entertainment, konten medsos juga udah cukup.”
“Maka tamatlah jurnalisme!”
“Ah, mosok? Orang butuh informasi yang cocok buat dirinya. Info itu bisa berita menurut kacamata jurnalistik, bisa juga sebagai info nggak jelas tapi menarik macam di TikTok, misalnya ngobatin penyakit dengan rebusan kulit salak, lalu besok kulit duren, sabut kelapa, gepukan batu bata….”
“Dan tanpa data ilmiah!”
“Emang semua orang butuh penjelasan ilmiah? Tutorial nyambung selang di Wikihow dan YouTube juga nggak pake rujukan ilmiah.”
“Tapi kalo info pengobatan tanpa verifikasi dokter disajikan oleh media kan payah?”
“Payah itu kalo dikit yang baca, kalah sama video TikTok yang dibagikan di grup WA.”
“Berarti publik perlu diedukasi!”
“Huss! Orang udah berpendidikan semua lho, Ndhuk! Dari PAUD sampai S1, S2, dan S doger. Mau kamu edukasi apa lagi?”
¬ Gambar praolah: Unsplash
4 Comments
Ide Kanthi Wulandari tentang dari 100 berita generik dan seterusnya itu bagus, dan bisa dituangkan dalam KPI. hanya, untuk media berita besar tempat saya pernah bekerja pasti sulit dilakukan karena, seperti dibilang mantan sejawat saya, “Bos di Jakarta isi otaknya cuma pageview.” Entahlah kalau di media-media besar lain.
BTW saya senang nama Kanthi Wulandari karena nama belakangnya sama dengan nama depan istri saya. 😬
Yah, setiap entitas bisnis punya perhitungan dan pilihan.
Bikin media itu dalam bbrp hal beda dari label musik dan perusahaan film, tapi penerbit media (bukan redaksinya) sama dengan dua contoh terakhir.
Perusahaan rekaman dan film bisa bikin sepuluh produk komersial dan satu produk “artistik”. Penerbit buku juga, dengan brand lain.
Untuk media, pilihannya ya bikin brand baru, bukan bikin varian yang beda dari yang sudah ada. Dulu banget detik bikin majalah detik, bagi saya isinya bagus, tapi roh detik yang bergaya populer nggak terasa karena kemasan majalah, terutama bahasa, rada Ngompas dan rada Nempo — tentu bila dibandingkan gaya bahasa detik masa lalu. Majalah itu akhirnya tamat. Pembaca setia detik merasa melihat produk yang bukan buat mereka. Tapi itu opini saya, bisa salah.
Tabloid Citra sempat tiba-tiba berubah, visual dan bahasa meninggalkan citra dari Citra lama, lebih urban dan kosmopolit. Kenapa? Seno Gumira Ajidarma Bre Redana, dan Yudhi Suryoatmojo mengubahnya menjadi ketinggian, terlalu artistik bagi pembaca dari ibu rumah tangga penggemar TV. JO mengatakan, kalo bikin warteg ya tetap seperti warteg di Tebet, mungkin maksudnya Warmo. Lalu Citra kembali ke fitrah. Gejolak penolakan di redaksi pun mereda.
Tentang Wulandari, biasanya si empunya lahir pas bulan purnama, wulan andhadhari.
👍
Oh iya, istri saya lahirnya 22 Januari.😁