Bermula dari obrolan di WA saya melongok ke Wikipedia dan KBBI. Ngeblog mendorong saya mencoba peduli bahasa.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Transceiver,  transiver, dan pancarima

Tiba-tiba obrolan saya dan kawan baik via WhatsApp berbelok ke soal teknis, padahal kami bukan pehobi elektronika. Mulanya saya menyebut soal daya pancar dan daya tangkap terhadap pesan sanubari.

Secara bersamaan kami teringat alat transmitter merangkap receiver yang kemudian disingkat transceiver. Pemancar sekaligus penerima. Lantas topik obrolan berbelok, apa bahasa Indonesia untuk transceiver.

Dia katakan, “Pemancar penerima. Gak enak kalo bahasa Indonesia.”

Saya menanggapi, “Bisa dibiasakan.” Lalu saya tambahan, “Panjang sih: alat pancar terima.”

Dia, seorang perempuan yang cermat dalam berbahasa, mengusulkan kata ini: pancarima.

Oh, akronim yang enak didengar. Saya pun bersoja. Lantas kami berganti topik.

Usai mengobrol saya mencari-cari padanan maupun serapan dalam bahasa Indonesia untuk transceiver. Aha! Saya temukan dalam Wikipedia Indonesia.

Termaktub di sana, transceiver adalah “pemancar-penerima” (sebagai lema) atau “alat pancar terima” (ini sama dengan yang saya usulkan spontan dalam WhatsApp) atau “transiver”.

Dari sisi rasa kebahasaan, pancarima rasanya cocok.

Eits, tetapi nanti dulu. Saya cek di KBBI ternyata pancarima sudah ada. Kami tertinggal, namun dapat selanggam dengan kamus resmi itu dalam urusan transceiver. Dalam kamus tersebut juga ada transiver.

Transceiver,  transiver, dan pancarima

Salah satu hal baik dalam menulis, selain memperlambat laju amnesia, adalah ada kesadaran untuk mencoba peduli kepada bahasa baku.

Tersebab obrolan di WhatsApp saya mengulik kata. Lalu saya poskan di blog.

¬ Foto: Tokopedia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *