Salah satu penyergap benak saat saya hendak memakan salak adalah waswas akan terluka. Sejak saya kecil begitu. Jika menghadapi salak yang bentuknya bulat, bukan yang seperti tetesan air dengan pucuk meruncing yang mudah dikupas, ada kemungkinan jempol saya terluka.
Peluang luka tersebut ada di dua titik. Pertama pada zona sidik jari jempol. Kedua ruas buku ibu jari. Sumbernya sama: kulit salak si buah ular. Luka pada jempol bisa berupa goresan tipis seperti kena pisau bedah, kadang masih ditambah susuban ujung sisik kulit salak.
Selama ini saya membatin banyak orang yang jauh lebih muda dari saya tak suka salak karena sejak kecil tidak terbiasa.
Saat saya bocah, pilihan buah yang dijual itu terbatas. Maka ada lagu “Dhondhong Apa Salak” tanpa menyebut apel dan anggur, hanya “dhuku cilik-cilik” dan di Jakarta ada “Papaya Cha-cha” yang mewartakan “papaya, mangga, pisang, jambu, dibawa dari Pasar Minggu” lalu pada korus: “papaya, jeruk, jambu, rambutan, duren, duku, dan lain-lainnya”.
Juga dulu waktu saya kecil, senang diajak di rumah bude karena selalu ada buah dari pasar. Bagi saya salak bukan prioritas. Saya lebih memilih jeruk dan lainnya. Karena salak adalah luka. Barusan juga saya alami. Ada jejak sayatan tipis pada jempol setelah susuban tamat.
Salak itu luka. Mungkin itu pula penyebab anak sekarang tak menjadikan salak sebagai pilihan utama. Bahkan saat perut mulas mereka tak ingin makan salak.
Oh, jangan-jangan nasi kotak katering menyertakan salak — bukan jeruk maupun nanas — selain karena murah juga untuk mengatasi perut rewel.
2 Comments
Hehehe, jadi bikin saya ingat berita eh konten sekitar empat tahun silam ini https://www.hitekno.com/internet/2019/10/21/111301/ngaku-tak-bisa-buka-salak-nia-ramadhani-trending-di-twitter
BTW saya sendiri juga sering seperti Paman : driji luka gara-gara mengupas salak. Sakitnya sedikit tapi bikin anyel.😁
Iya saya inget ada kabarnya itu. 🤣
Ternyata korban salak bukan cuma saya. Juga ternyata susuban blm tamat. Hrs diolesi minyak kelapa?