↻ Lama baca 2 menit ↬

Buah salak buah ular, sudah tanak masih diputar

Setidaknya dalam benak saya ada dua lagu yang menyebut salak. Pertama lagu Kris Biantoro, “Dhondhong Apa Salak”. Kedua, tak tahu judulnya, maupun penyanyinya, tapi waktu kecil saya dengar di radio, “salaké legi-legi, salak Tirtonadi” *.

Beberapa kali saya menceritakan si buah ular di blog ini. Dari soal mencuri lalu dikejar-kejar sampai cuci mulut untuk makan siang dari katering.

Ada sih yang belum saya ceritakan. Suatu siang, seorang cewek, pemain teater di Yogyakarta, singgah di kantor saya di Jatibaru, Jakpus. Dia membawa miras binti minol hasil fermentasi salak. Saya panik. Kantor saya yang itu bukan lagi kantor lama rumahan, mirip sanggar, di Jalan Langsat, Jaksel, sehingga yang orang bisa membawa buah tangan air api untuk dinikmati di tempat kerja. Akhirnya saya beri pengertian.

Kali ini saya berbagi catatan tentang nama buah. Ada sejumlah buah yang nama latinnya mengangkut nama lokal, misalnya salak adalah Salacca zalacca. Sedangkan durian adalah
Durio zibethinus. Mangga adalah Mangifera indica — tapi bukankah nama lokal versi Jawa adalah pelem dan Melayu adalah mempelam?

Selain itu saya tak tahu buah apa lagi. Kalau pepaya, Carica papaya, tampaknya dari nama lokal di Amerika Latin. Demikian pula nanas, yang dalam kartu kuartet tempo dulu disebut ananas, nama latinnya adalah Ananas comosus.

Lalu soal nama versi Inggris. Salak adalah snake fruit. Nangka adalah jackfruit. Manggis adalah mangosteen. Belimbing adalah star fruit.

Bagaimana bahasa Indonesia menyerap nama buah luar? Apple jadi apel. Pear jadi pir. Peach? Akhirnya orang mengucapkan “pich” dalam lafal Indonesia, jika Anda bilang persik (dari bahasa Belanda perzik) malah bikin bingung orang lain padahal kosakata lawas itu ada di KBBI .

Sekian lama saya bingung terjemahan Indonesia untuk grapefruit yang bukan buah anggur itu. Ternyata ada yang menyebut “jeruk bali merah” dan “limau gadang”. Anda pernah dengar dua kata itu?

*) Dari seorang kawan, wartawan musik, saya diberi tahu, bukan tempe, judulnya adalah “Manuk Podang” (Titiek Sandhora, album Djangan Ngintip, 1970)