↻ Lama baca < 1 menit ↬

Gang di permukiman padat yang ada atapnya

Sudah lumrah jika sebuah rumah pada seruas gang sempit, yang berhadapan dengan tembok, memasang atap. Sepanjang tetangga tak keberatan ya lancar jaya.

Masalah permukiman itu rumit. Pada permukiman padat, ruang bertumbuh organik. Tanpa perencanaan. Bisa saja bermula dari sepetak demi sepetak lahan yang dijual atau diwariskan, yang bermula dari lahan yang lebih besar.

Ketika pemilikan sepeda motor, bahkan mobil, belum meluas, gang-gang kecil bukan masalah. Bahkan banyak lorong tak punya nama, namun dahulu Pak Pos bisa tahu. Nama kampung, RT dan RW, lalu nomor bangunan, bisa menjadi patokan. Nyatanya saudara dari kampung bisa menemukan titik ancar-ancar.

Lorong yang saya foto ini, bagian dari sebuah labirin, dahulu tak bernama. Ada beberapa ruas yang beratap. Lalu setelah seorang perwira militer membeli lahan yang ngantong, dan membangun rumah, jalan privat ke rumahnya dia beri nama, disahkan dengan papan nama. Gang di sekitar akhirnya menggunakan nama versi Pak Perwira, dengan seri I, II, III, dan seterusnya, namun belum semuanya masuk Google Maps maupun Google Street View.

Pada abad lalu, ketika Pak Perwira menghuni sebuah kompleks baru, dia pula yang menamai jalan karena pengembang belum menamai.

Nama versi Pak Perwira akhirnya abadi, seri jalan sampai belasan, dengan nama sama, masuk ke peta Gunther Holtorf, orang Jerman yang berjasa dalam pemetaan Jabodetabek (¬ Tirto). Bedanya di kompleks tersebut tak ada jalan beratap, karena bisa diprotes tetangga.

Kembali ke Gang Djaim

Selamat datang di Gang Ki Amang

Jalan Haji Abdul Rohim luntur namanya