Ehm, posting di blog bisa terpeleset menjadi solilokui untuk publik. Lha ketimbang merepotkan orang lain, kan?
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Ngeblog supaya tak menyiksa telinga orang lain

Ya, aku akui. Aku ngeblog dengan alasan personal. Yang utama adalah mengerem laju amnesia. Kalau harus menyebut dalih altruistik, demi kepentingan orang lain, inilah alasanku: agar telinga orang lain takkan kecapaian mendengarkan celotehku.

Setiap orang punya batas ketahanan untuk mendengarkan orang lain berbicara — dalam hal ini aku. Jika mereka (dan kalian) tak lagi berminat, igauanku bisa diabaikan: masih terdengar namun tak masuk ke benak.

Tetapi ketika aku terus meracau, padahal orang lain sudah membiarkan ababku hanya menguar bau, dan semua kata-kataku tak menyusup ke dalam lamunan mereka sebagai perlindungan diri terhadap serangan auditif dari mulutku, tuturanku yang tiada henti adalah siksaan.

Dengan posting, setelah aku kembali ngeblog, aku tetap belajar menjaga keseimbangan dalam relasi sosial. Tak perlu menjadi kolumnis di grup WhatsApp padahal anggotanya tak butuh itu. Juga, nah itu tadi, tak perlu memaksa orang lain menjadi pendengarku.

Terhadap podcast, mereka selalu sangat mudah menyudahi. Tinggal mematikan atau mengganti kanal. Tetapi setersika apapun mereka terhadap ceramahku, dan sesebal apapun terhadap diriku, mereka tak dapat tiba-tiba membungkamku. Hanya nyelamur, menginterupsi untuk mengganti topik, yang dapat mereka lakukan.

Dengan menulis di blog tentang apa saja yang ingin kukatakan, aku terbebas dari jebakan diri menjadi peneror telinga orang lain, sekaligus aku terbantu merawat ingatan, termasuk ingatan tentang nama apa saja dan ingatan perihal kata.

Nama-nama dan kata-kata. Dengan malu aku akui, hal itu sudah mulai terkikis dari residu memoriku.

¬ Gambar praolah: Unsplash

5 thoughts on “Ngeblog supaya tak menyiksa telinga orang lain

  1. Tentang ingatan, saya tak habis pikir, ada beberapa hal yang saya tak ingat padahal kaitannya belum sangat lama. Dua hari lalu, mantan kawan kantor di Surabaya mampir kedai istri saya kemudian mengirim foto kedai ke saya via Instagram.

    Saya telat membaca kiriman itu, lalu menghubungi kawan tersebut via IG call. Tidak ada respons. Saya tidak menghubunginya via WA karena saya yakin tidak menyimpan nomor WA dia ponsel saya.

    Beberapa saat kemudian, dia menelepon saya pakai IG. Kami ngobrol cukup lama. Setelah obrolan rampung, saya kirim no WA saya ke dia via pesan IG dan saya minta dia menyapa saya via WA.

    Saat kawan itu menyapa via WA, ternyata muncul namanya di ponsel saya, yang berarti saya sudah punya nomor WA dia di ponsel saya. Saat saya cek ternyata ada arsip chating kami yang belum saya hapus, tertanggal 6 September 2020. Belum sampai tiga tahun tapi saya benar-benar sudah tidak ingat sama sekali.

    Sebailknya, banyak hal-hal yang sudah sangat lama tetapi sampai sekarang saya masih ingat. Contohnya, ketemu Paman di Surabaya sekitar 16 tahun silam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *