↻ Lama baca < 1 menit ↬

Ngeblog supaya tak menyiksa telinga orang lain

Ya, aku akui. Aku ngeblog dengan alasan personal. Yang utama adalah mengerem laju amnesia. Kalau harus menyebut dalih altruistik, demi kepentingan orang lain, inilah alasanku: agar telinga orang lain takkan kecapaian mendengarkan celotehku.

Setiap orang punya batas ketahanan untuk mendengarkan orang lain berbicara — dalam hal ini aku. Jika mereka (dan kalian) tak lagi berminat, igauanku bisa diabaikan: masih terdengar namun tak masuk ke benak.

Tetapi ketika aku terus meracau, padahal orang lain sudah membiarkan ababku hanya menguar bau, dan semua kata-kataku tak menyusup ke dalam lamunan mereka sebagai perlindungan diri terhadap serangan auditif dari mulutku, tuturanku yang tiada henti adalah siksaan.

Dengan posting, setelah aku kembali ngeblog, aku tetap belajar menjaga keseimbangan dalam relasi sosial. Tak perlu menjadi kolumnis di grup WhatsApp padahal anggotanya tak butuh itu. Juga, nah itu tadi, tak perlu memaksa orang lain menjadi pendengarku.

Terhadap podcast, mereka selalu sangat mudah menyudahi. Tinggal mematikan atau mengganti kanal. Tetapi setersika apapun mereka terhadap ceramahku, dan sesebal apapun terhadap diriku, mereka tak dapat tiba-tiba membungkamku. Hanya nyelamur, menginterupsi untuk mengganti topik, yang dapat mereka lakukan.

Dengan menulis di blog tentang apa saja yang ingin kukatakan, aku terbebas dari jebakan diri menjadi peneror telinga orang lain, sekaligus aku terbantu merawat ingatan, termasuk ingatan tentang nama apa saja dan ingatan perihal kata.

Nama-nama dan kata-kata. Dengan malu aku akui, hal itu sudah mulai terkikis dari residu memoriku.

¬ Gambar praolah: Unsplash