Durna tak berdaya setelah menerima kabar tak lengkap, sehingga Drustajumena dengan mudah memenggal kepalanya.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Drustajumena dalam kartu remi wayang buatan Toelen

Sejujurnya saya tak paham wayang, nama tokoh-tokoh besarnya juga tak hafal, namun ada satu nama yang mengesankan saya. Siapa? Drustajumena. Ejaan nama tokoh ini beragam, begitu juga nama-nama tokoh lainnya.

Kesan saya, Drustajumena ini antara penting dan tak penting. Dialah yang membunuh Durna, dengan memenggal kepalanya, memakai pedang, dalam Perang Kurusetra.

Drustajumena dalam-dalam kartu remi wayang Toelen

Drustajumena memanfaatkan kelinglungan Durna yang terkejut dan bersedih setelah mendengar Aswatama gugur, apalagi Bima mencacinya sebagai brahmana haus kuasa, sampai memimpin perang besar pelahap korban. Versi lain menyebut Durna mesu diri, mengheningkan cipta, dan dalam latar pewayangan hal ini wajar. Durna sudah menanya Yudhistira, yang tak pernah berdusta itu, dan dijawab, “Ya Guru, demikianlah adanya.”

Aswatama adalah putra Durna. Tetapi Aswatama juga nama seekor gajah tunggangan Gardapati. Dalam pertempuran di bagian lain, si gajah mati, Bima meremukkan kepalanya dengan gada Rujakpala, atas saran Kresna sang ahli siasat. Prajurit Pandawa bersorak, berulang-ulang meneriakkan, “Aswatama mati!”

Kartu remi wayang cap Toelen: Durna, Aswatama, dan Drustajumena

Dalam keadaan diri tak bersiaga, Durna sebagai senapati utama diserang Drustajumena; tentulah hal itu bukan laku satria karena tanpa perang tanding. Akibatnya leher Durna terpotong. Kepalanya terlepas. Dari lubang lehernya memancar cahaya, memapar langit. Kurawa berduka.

Kehilangan putra telah membuat diri Durna hampa, padahal penyebabnya adalah Yudhistira hanya lirih menyuarakan kalimat susulan, di tengah hiruk pikuk pertempuran, setelah menjawab pertanyaan Durna, “[…] tapi yang mati adalah Aswatama gajah.” Kata “gajah” sangat tipis terucapkan.

Kurang lebih begitu ringkasan kisahnya, sejauh saya pahami. Jika bergeser tolong Anda lempengkan.

Kartu remi wayang purwa buatan Toelen

Saya teringat posisi Drustajumena, dalam tafsir saya, saat memeriksa isi kotak kayu berisi kartu remi wayang dengan punggung bercitrakan kawung. Lalu lamunan saya pun melantur ke politik Indonesia. Disinformasi adalah bagian dari persaingan, bahkan perseteruan, apalagi jika menyangkut pilpres, terutama Pilpres 2014 dan 2019 yang disela Pilkada DKI 2017.

Disinformasi lebih canggih daripada fitnah, karena ada unsur informasi yang benar seperti kasus nama Aswatama tadi. Dalam seni propaganda, inilah yang disebut pasal delay the truth, menunda penyampaian kebenaran informasi. Si pelontar isu tak merasa berbohong apalagi memfitnah. Jika nawala ringkas tertulis dalam kertas yang robek, sisa robekan tetap tergenggam, sementara potongan awal pesan telah beredar dari tangan ke tangan.

Yah, begitulah. Jika dan hanya jika menyangkut pihak yang tak disukai, orang cenderung lebih memercayai informasi buruk. Apa yang ditakuti, karena mengancam kelompoknya, itulah yang dipercaya. Sebaliknya, apa yang diharapkan, bahkan menjadi ilusi, meskipun berupa kabar kabur, itulah yang dipegang, karena harapan akan satu hal juga punya sisi ketakutan terhadap hal lain di seberang, sebagai konsekuensi pengutuban politik yang menjadikan masyarakat terbelah.

Sampai di sini sodoran data dan fakta akan memantul, tertolak dari kepala orang-orang yang tersesatkan oleh informasi tak sahih karena endapan penolakan dan penyangkalan dalam amigdala kadung menebal bahkan menjadi pejal.

Nanti, dalam perjalanan menuju, selama, dan setelah Pilpres 2024, penyeru Aswatama mati secara membahana dan berulang-ulang bukanlah Bima yang membunuh gajah, dan memang sempat mengucapkan itu, melainkan bala tentara Pandawa, dan mungkin ditambah para juru masak dan pakathik (pengurus kuda).

Ulangi, dan ulangilah cerita tiada henti, sampai para penuturnya yang semula sadar bahwa itu tak benar akhirnya juga meyakini.

Akan tetapi siapa Pandawa siapa Kurawa dalam kehidupan kita dapat bertukar pemeran.

3 thoughts on “Disinformasi dalam pewayangan dan politik Indonesia

    1. Yah semoga semua orang mau belajar dari dua kali pilpres sebelumnya dan Pilkada DKI. Menyembuhkan luka itu sulit, apalagi dalam kasus DKI anak-anak kecil pun diracuni. Ketika dia tumbuh besar, kadung terbentuk pemahaman bhw yang bukan sehaluan dengan dirinya adalah musuh. 😭

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *