Ini memang masalah literasi media. Siapa yang sebenarnya lebih bersalah: pembuat konten ataukah khalayak yang percaya?
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Hoaks eksekusi hukuman mati Ferdy Sambo

Serial eksekusi hukuman mati Ferdy Sambo terus tertayang di sebuah akun YouTube. Saya tak membahas angka views, jempol, dan subscribers. Saya heran kenapa si kreator amat pede dan kenapa ada yang percaya. Tangkapan layar video itu juga muncul di grup WhatsApp. Ada yang sekadar forward, ada yang bertanya “Bener nggak sih?” tapi intinya sama: menyebarluaskan.

Hoaks eksekusi hukuman mati Ferdy Sambo

Ketika saya ditanya kebenaran info yang seseorang yakini sebagai berita itu, saya membelokkan masalah, “Mana ada judul berita memisahkan ‘di’ dan ‘makamkan’. Kok kayak ‘di’ dan ‘jual’ dipisah.” Sayang, si penanya, seorang sarjana yang pasti pernah menulis skripsi, tak paham maksud saya.

Kepada penanya lain, saya katakan, “Kalo itu bener, pasti jadi berita di mana-mana, terutama TV yang nyala hampir nonstop di rumah Njenengan.”

Hoaks eksekusi hukuman mati Ferdy Sambo

Meskipun sudah muncul koreksi dari media berita bahwa info itu bohong, tetap saja ada yang percaya, membagikannya, terutama berupa tangkapan layar.

Hoaks eksekusi hukuman mati Ferdy Sambo

Ini memang masalah literasi media. Maka pertanyaan kita adalah mengapa selalu terjadi? Siapa yang sebenarnya lebih bersalah: pembuat konten ataukah khalayak yang percaya?

Jika masalahnya disederhanakan sebagai pelaku dan korban, jawabannya jelas: si penipu yang salah, jangan menyalahkan si tertipu. Serupa pertanyaan, “Emang sebagai korban penipuan, situ mau disalahin, dibodoh-bodohin, bahkan disukurin?”

Hoaks eksekusi hukuman mati Ferdy Sambo

Menyalahkan korban penipuan berarti memberikan angin kepada penipu, bukan hanya dia yang bersalah.

Apakah ini semua adalah bawaan lahir media sosial? Belasan tahun silam ketika mesin pencari masih merelakan diri ditipu SEO hitam, situs web warta dusta maupun asal salin tempel, tumbuh subur, demi iklan. Dahulu saya sering kebingungan saat dimintai advis oleh orang yang akan membuat blog untuk nafkah. Setahu saya ngeblog itu meminta sumber daya, dari waktu sampai biaya — sesedikit apapun.

Hoaks eksekusi hukuman mati Ferdy Sambo

Pada era video meraja, saya ditanya cara mendapatkan uang dari Instagram, YouTube, dan TiiTok. Saya punya jawaban cerdas, “Tiru aja para kreator yang laris.”

Akhirnya saya tersadar, itu jawaban dungu.

Disinformasi dalam pewayangan dan politik Indonesia

2 thoughts on “Kok ya ada yang percaya, Sambo telah dihukum mati

  1. Kreatornya adalah orang (-orang) yang cerdas untuk mendulang duit sekaligus keji. Dalam versi lain ada Sambo dibawa ke Nusakambangan untuk dihukum mati, yang ditemukan istri saya di YouTube.

    Saya sendiri tidak pernah nemu konten-konten kayak begitu karena saya bukan penikmat YouTube — saya sering buka YouTube malam-malam hanya jika ingin menikmati sajian musik, terutama konser musik, grup-grup Barat kesukaan saya.

    “Orang nyari duit kok segitunya caranya, nipu penonton,” komentar istri saya saat menemukan video berjudul Sambo dibawa ke Nusakambangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *