Seberapa banyak yang kita pahami ihwal petani dan pertanian padi? Yang penting ada beras dan nasi.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Media tanam cap Pak Tani

Tatkala mendapati karung media tanam cap Pak Tani, saya pun teringat petani, dan dalam hati mengakui bahwa saya tak paham petani dan pertanian.

Ingatan visual saya tentang petani ya seperti umumnya gambar dalam buku: bercaping, memanggul cangkul. Tetapi ada juga yang memegang cangkul.

Buku lawas pemuda tani

Ketika saya kelas satu SMP, hari awal pelajaran bahasa Inggris diisi pengenalan aneka pelaku pekerjaan. Pak Guru menunjukkan karton bergambar angkrèk bercaping dan membawa pacul, lalu anak-anak serempak mengatakan, “He is a farmer.”

Bermacam beras cap Pak Tani

Di kemudian hari saya menganggap ajaran Pak Guru kurang tepat. Itu gambar peasant, bukan farmer. Dalam persepsi saya, farmer itu tak perlu ke sawah, lebih makmur dari peasant, yakni petani gurem dan buruh tani. Uh, gurem. Istilah yang pahit. Gurem, atau guram, adalah kutu ayam.

Petani gurem itu, kalau di Jawa, sawahnya kurang dari 0,25 ha. Tetapi itu kriteria abad lalu, entah sekarang; jurnal Viva Justicia UGM (2018), yang membahas land reform, menyebutkan luas sawah petani gurem < 0,5 ha, merujuk Kemenko Perekonomian, 2005. Kok seperti kriteria lama untuk petani gurem di luar Jawa.

Lalu petani jenis apa yang sering menjadi visualisasi aneka merek selain beras?

Saya tak tahu. Saya hanya berkesan, petani, atau Pak Tani, itu eksotis, dianggap sebagai potret yang mewakili sebagian besar orang Indonesia yang tergantung pada nasi.

Rokok kretek cap Pak Tani

Maka merek rokok buatan Semarang pun bisa Pak Tani. Saya tak tahu, apakah rokok yang sudah tamat itu bertaut dengan target pasar, yakni petani rural, ataukah kelompok lain, misalnya buruh urban.

Sekian lama saya kadung mempertautkan beras dan wilayah, misalnya Solok dan Delanggu. Ini soal persepsi karena kurang informasi. Sehingga saya gumun, ada beras Gunungkidul dan Natuna.

Beras dari Gunungkidul dan Natuna

Karena petani identik dengan sawah, beras, dan nasi — kalau berbasis ladang namanya peladang — maka menarik mengamati beras kemasan. Banyak yang bermerek Pak Tani atau mewakili itu. Ada sih produk kelompok tani di Ngawi, Jatim, yang menjenamai beras varietas Memberamo dengan Srikaton.

Beras Memberamo Srikaton Ngawi

Tak hanya perusahaan kecil dan kelompok tani yang memilih jenama yang mewakili petani, konglomerasi bisnis pangan besar macam Wilmar Group pun punya: Lumbung Padi, Sawah Panen, dan Sawah Hijau. Sedangkan PT Wahana Inti Makmur Tbk (IDX: NASI) punya beras Dua Tani.

Beras Rumah Tani bergambar istri Pak Tani

Bagaimana sosok petani dihadirkan dalam merek dagang, ternyata ada saja opsinya. Selain beras Rumah Tani, bergambar Bu Tani, ada pula Topi Tani, bukan caping petani, dan Top Tani — bisa terdengar maupun terbaca “topi tani”.

Beras cap Topi Tani dan Top Tani

Tentu, merek pangan berunsurkan petani tak hanya untuk beras. Untuk tapioka juga ada. Padahal tapioka adalah hasil ladang, atau kebun, bukan sawah. Tetapi bolehlah kini disebut petani. Bukankah ada sebutan petani hidroponik?

Dari sejumlah merek tapioka ada dua yang menarik: Boss Tani dan Taniin Merah. Kata “merah” yang menyertai tani mengingatkan saya pada sejarah Indonesia. Atribut “merah” mungkin seksi, mungkin bikin alergi. Kalau Boss Tani sih boleh jadi adalah farmer — jika benar, dia bukan “merah”, dan berada di kanan atau tengah.

Aneka tapioka cap Pak Tani

¬ Sumber gambar: lapak lokapasar, buku lama dari Pinterest

Beli langsung dari petani

Tapioka ya ya ya

Arem-arem, ganjal perut jadul penyetop alarm

1 thought on “Pak Tani yang tak sepenuhnya saya pahami

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *