Pertanyaan dalam judul posting ini menunjukkan dua hal. Pertama: saya orang jadul yang memelihara ingatan tentang perkara tak penting. Kedua: saya mengabaikan kenyataan bahwa kini orang punya bolpoin tetapi belum tentu punya pensil, bahkan menulis pun lebih sering di layar ponsel — kecuali pelajar dan mahasiswa serta guru.
Kemarin saat ke kios fotokopi karena ditugasi istri saya memperhatikan ATK dalam rak kaca. Banyak ragam alat tulis bertinta di sana, namun untuk pensil hanya ada 2B, bermerek Joyko dan Faber-Castell, harga masing-masing Rp2.000 dan Rp6.000 per batang.
Kios itu hanya menyediakan barang yang sering dicari pembeli. Maka di sana tak ada pensil bersetip (dari bahasa Belanda “stuf“, diucapkan tanpa mecucu, sehingga terdengar “stif”), tetapi ada beberapa jenis karet penghapus yang dijual terpisah.
Stip/setip = penghapus. Stip/setip etimologinya dari kata bahasa Belanda stuf. Huruf -u pengucapannya antara -u & -i, jadi stip deh (seperti communist kadang disebut kuminis). Sekarang di Belanda umumnya penghapus disebut gom (Inggris: gum). #sabtunedina https://t.co/pnq3z16gHP
— Lorraine Riva (@yoyen) August 30, 2018
Saya tak tahu jenis pensil yang dipakai anak SD kelas satu sampai dua sekarang, apakah yang bersetip atau bukan. Kalau pensil mekanis atau isi ulang malah ada di kios itu.
Lantas saya membatin, kenapa masih ada pabrik pensil bikin potlot bersetip? Apakah mereka sudah mensurvei bahwa setip yang melekat itu pasti konsumen butuhkan dan akan digunakan?
Kalau saya memang masih punya potlot berpenghapus — potlot kita serap dari bahasa Belanda: “potlood“. Saya lupa beli di mana, yang pasti saya jarang menggunakan setipnya. Mencoret tulisan pena maupun pensil itu lebih praktis.
Lalu ingatan saya pun meluncur ke masa kecil. Dahulu lumrah nian apabila ada anak membalutkan karet gelang ke pangkal potlotnya. Untuk apa? Menjadi setip. Maklumlah zaman susah, bahkan dulu masih ada buku tulis dengan kertas bergaris bukan HVS, lebih mirip kertas buram. Jika ditulisi dengan pensil HB hasilnya kurang jelas.
5 Comments
Saat membaca judul, ingatan saya langsung ke kenangan memakai karet gelang di pangkal pensil untuk nyetip saat saya masih anak-anak. Eh (lagi-lagi) ternyata nongol di alinea terakhir.
Oh, mengecewakan bagi Lik Jun nggih?
Ingatan ttg karet itu muncul saat saya menulis di ponsel.
Saya sering menulis secara mengalir. 🙏
Lho kok mengecewakan to?🙈
Maksud saya ternyata nongol di alinea terakhir itu, kenangan Paman dan kenangan saya sama (meski nongolnya di alinea pamungkas) karena kita sama tuanya.😁 Jadi, poinnya adalah tentang karet gelang yang sama-sama jadi kenangan kita, bukan tentang kenapa muncul di alinea terakhir.
Seperti tentang pomade dan Grease itu lho, Paman, di mana Grease spontanmuncul di pikiran saya saat baca alinea tengah, dan ternyata kemudian saya temukan di alinea terakhir. Makanya di komen pertama tadi ada saya sebut “lagi-lagi”.
🙏👍😇💐