Kalau para pendahulu kita tak bersepakat tentang bahasa nasional, alangkah repotnya cara pemerintah menyelenggarakan negara.
Tentu hal itu tidak mungkin, karena undang-undang dan beraneka produk hukum harus menggunakan bahasa yang sama, berlaku untuk semua warga negara. Bahkan saat membentuk negara dan pemerintahan pun harus berbahasa dengan jelas, yang dimengerti semua penggagas dan syukur jika rakyat juga paham.
Misalnya kita dahulu tak bersepakat, mungkin orang Jawa memaksakan bahasanya, lalu suku lain tak terima, bahkan memisahkan diri, lalu akhirnya kita menggunakan bahasa yang hanya dimengerti kaum terpelajar, yaitu Bahasa Belanda.
Coba lihat bahasa resmi sejumlah negeri yang merdeka pasca-PD II. Berapakah yang memiliki bahasa tunggal?
Nigeria (merdeka 1960) berbahasa resmi bahasa Inggris, bekas penjajahnya, dengan mengakui tiga bahasa etnis. Chad, juga merdeka pada 1960, berbahasa resmi Prancis dan Arab. Maka nama resmi negeri itu adalah République du Tchad (Prancis) dan Jumhūriyat Tšād (Arab).
Adapun Malaysia berbahasa resmi dan nasional bahasa Melayu, tetapi bahasa Inggris juga diakui. Sedangkan India memiliki bahasa resmi Hindi dan Inggris, dan mengakui belasan bahasa etnis.
Itulah catatan saya untuk laporan Kompas, Jumat (28/10/2022), untuk memperingati Sumpah Pemuda.