Kalau soal peringatan banjir, semua orang tahu. Tapi bagaimana mengatasi itu yang ruwet. Jangan cuma bikin tol.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Jangan cuma kasih peringatan banjir ke rakyat

Lebih dari sekali saya mendengar ucapan seperti dalam judul posting ini. Saya memaklumi, tak menyalahkan. Mereka adalah korban dari keruwetan besar di luar kuasa mereka.

Saya sebut di luar kuasa mereka karena bisa saja orang sudah meninggikan tapak rumah mereka, dan ketika banjir besar berkuasa rumah mereka tak dijamah air, sementara rumah tetangga terendam sepaha, dan di wilayah lain air setinggi mata kaki tetapi di lantai dua.

Saat banjir besar dan melebar, penghuni rumah yang yang tetap kering pun tak dapat keluar maupun masuk rumah bahkan tak ada akses ke kompleks dan kampungnya kecuali naik perahu karet.

Jangan cuma kasih peringatan banjir ke rakyat

Barusan saya secara acak dan selintas melihati berita banjir, terutama yang bersifat kewaspadaan. Di Nigeria, pemerintah pusat menyalahkan pemerintah negara bagian yang tak mengindahkan peringatan (¬ Channels TV).

Dalam terminologi lawas, apakah itu tipikal negara lembek (soft state) bekas jajahan, yang sering gagap mengatasi masalah? Ini soal ruwet. Di Indonesia, sejauh saya tangkap, perdebatannya juga menyangkut otonomi daerah dan di sisi lain batas tanggung jawab maupun kewenangan pemerintah pusat.

Jangan cuma kasih peringatan banjir ke rakyat

Dalam obrolan angkat kaki di bangku warung Indomie rebus saat saya berteduh dari hujan, saya pernah menyimak ucapan seorang pengudap, “Kita mah kagak ngurus pemerintah pusat apa daerah. Banjir kagak kenal batas wilayah apalagi partai. Di kita aja banjir datang dari kecamatan sebelah.”

Lalu yang lain menimpali, “Emang payah. Ngapain buang duit pake ngutang buat bikin jalan tol? Mending buat ngatasin banjir.”

Lalu arah simpulan seperti dalam judul. Pemerintah jangan hanya memperingatkan warga bakal ada banjir dan puting beliung bahkan tanah longsor. Harus berbuat buat mencegah sebelum kejadian.

“Kita tau bakal banjir, bisa ngungsi. Tapi kita kan bukan keong yang bawa rumah ke mana-mana. Tiga puluh tahun aman, eh tiga tahun belakangan kena banjir juga,” kata pemilik warung. Lalu mereka menatap berita banjir di TV.

Bukan benar atau tidak, pas atau meleset, soal isi obrolan itu, tetapi yang penting saya yang pasif dan tak mereka kenal di warung itu mendapatkan kuliah gratis. Belajar mendengarkan suara rakyat. Huh, padahal saya juga rakyat. Maaf.

Jangan cuma kasih peringatan banjir ke rakyat

Mengukur ketinggian banjir

Krubyuk, krubyuk, sudah surut sih….

Keran pembuang air banjir dari dalam rumah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *