Tentang koran Kompas dua versi

Pada hari yang sama, koran Kompas punya dua versi foto utama: Ratu Elizabeth dan kapal pencarian korban pesawat TNI AL.

β–’ Lama baca < 1 menit

Tentang koran Kompas dua versi

Stop press adalah dunia koran cetak. Proses pencetakan dihentikan karena ada konten yang perlu diganti. Apa yang terjadi pada koran Kompas edisi 9 September pekan lalu , terbit dua versi berita utama foto, hanya bisa dilihat pelanggan cetak. Maka hari ini (12/9/2022) Kompas menjelaskan proses dua versi itu.

Ada yang menarik: penyelaras visual mengerjakan perubahan di rumahnya, setelah dibangunkan dari tidurnya.

Tentang koran Kompas dua versi

Tentang koran Kompas dua versi

Sebenarnya Kompas sudah berjaga-jaga apabila terjadi sesuatu pada Ratu Elizabeth II. Namun apa daya tenggat siap cetak tak mengejar. Memang ini masalah media cetak yang sudah mulai menjadi sejarah: tenggat cetak. Bahkan untuk berita yang sudah bisa diduga, misalnya sepak bola, tak selamanya sesuai tenggat karena perbedaan zona waktu.

Bagi media daring, ancang-ancang maupun yang dadakan bukan masalah. Ketika Jakob Oetama wafat (2020), obituarium bisa saya buat tanpa telat, bahkan sebelum media lain membuat serupa.

Infografik obituarium Yockie Suryo Prayogo

Begitu pula saat Yockie Suryo Prayogo (2018) dan Yon Koeswoyo (2018) meninggal. Saya punya bahan yang belum atau tidak tersedia di media daring. Infografik dan obituarium Yockie bisa saya kebut, ketersediaan CD sangat membantu.

Untuk Yockie, saya langsung melanggani sekian layanan pengaliran musik, di luar yang telah saya langgani, semata-mata untuk mendapatkan jumlah lagu yang tersedia. Untuk obituarium Yon, saya punya dua buku tentang dia dan Koes Plus.

Kabar duka Yockie dan Yon saya kerjakan saat saya memilih kerja di rumah. Kebetulan saya bisa memilih waktu dan tempat bekerja di mana pun sebelum ada pandemi β€” termasuk memilih menginap di kantor.

Untuk obituarium Dwi Koendoro (2019), saya mengerjakannya di kantor. Bahan di benak lengkap. Namun ada satu hal penting ada di rumah, buku Panji Koming pertama yang memuat wajah saya dan Rudy Badil.

Akhirnya saya peroleh buku itu sebagai barang bekas di lapak daring dengan harga mahal dan ongkir mahal via Gosend. Wajah saya sudah berkumis, ditambahkan oleh pemilik buku.

Sedangkan obituarium G.M. Sudarta (2018) saya kerjakan di rumah karena Sabtu adalah hari libur. Bukan masalah, karena saya selalu bekerja hari libur, hampir tak pernah mengambil jatah libur sehari dalam sepekan. Sebagian bahan saya tentang Mas Darta tak dipunyai media lain. Misalnya tentang mobil yang sebelumnya milik Tutut Soeharto.

Itulah kelebihan media daring. Saya beruntung mengalami dua dunia itu, cetak dan digital.

Koran pagi dibaca dini hari dan kisah stop press

Kompas Jadi Dua

Obituarium: Yockie si teguh telah pergi

Obituarium: Yon Koeswoyo sang pengawet Koes Plus

Obituarium: G.M. Sudarta sang bentara telah berpulang

Obituarium: Selamat jalan bapaknya Panji Koming dan Legimin Bond

JO sang Patriark telah berpulang

5 Comments

junianto Senin 12 September 2022 ~ 19.16 Reply

Dalam hal membikin obituari (dan hal-hal lain juga, dhing) penjenengan pancen ngetenπŸ‘ Paman.

Pemilik Blog Senin 12 September 2022 ~ 20.38 Reply

Bukannya itu biasa bagi orang media? 🀭

junianto Senin 12 September 2022 ~ 21.03 Reply

Betul, biasa bagi orang media tapi hasilnya beda, tidak biasa, luar biasa, sebagaimana saya baca dari arsip tiga obituari yang dilampirkan Paman.

Pemilik Blog Selasa 13 September 2022 ~ 10.19

πŸ™ Kebetulan saya agak paham sosoknya. Kalau nggak paham ya garing.

Tinggalkan Balasan