↻ Lama baca 3 menit ↬
Foto Gerardus Mayela Sudarta di rumah duka Sinar Kasih, Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (30/6/2018). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

G.M. Sudarta (1945-2018) adalah hitam. Bukan hanya kartun editorialnya yang hampir selalu hitam (di atas putih), dengan efek raster yang menjadi abu-abu. Ia dulu sering berbusana hitam: kemeja hitam, pantalon hitam, ikat pinggang hitam, sepatu hitam, kaus kaki hitam, dan kacamata yang lapisannya menjadikan lensanya separuh menghitam.

Akan tetapi pada awal 1990-an, mobil Mazda RX7 miliknya berwarna merah. Saat itu tak banyak yang memiliki mobil built up mahal. Apalagi bagian belakangnya beremblem huruf serif Oom Pasikom dalam gaya tipografis penunggangnya.

Maret 1992, seusai buka bersama kartunis di rumahnya, di Kebonjeruk, Jakarta Barat, ia tunjukkan mobilnya kepada kartunis Malaysia, Datuk Mohammad Nor bin Mohammad Khalid alias Lat.

Mas Darta, demikian sapaan untuk kartunis Kompas Gerardus Mayela Sudarta, saat itu 46 tahun, mengatakan kepada Lat (saat itu 41): mobil itu sebelumnya dimiliki Tutut, putri Presiden Soeharto.

 

Darta, sang pencinta keindahan — lihatlah tarikan garis betis perempuan dalam kartunnya — hari ini berpulang. Sabtu Legi 30 Juni. Dalam usia 72. Di kediamannya, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Darta meninggal karena masalah kesehatan, antara lain hepatitis C.

Kini jasadnya disemayamkan di Rumah Duka Sinar Kasih Kota Bogor. Senin Pon 2 Juli besok jenazahnya akan diperabukan di Krematorium Sentra Medika, Cibinong.

Mengkritik dengan lucu

Darta mengisi kartun Kompas sejak 1967 saat ia berusia 22. Saat itu khalayak dan media lebih senang menyebut karyanya sebagai karikatur.

Kepada Kompas TV beberapa waktu lalu, Darta mengenang masa represif Orde Baru: “Kartun itu membuat kartunisnya banyak ketakutan.”

Pada masa lalu, kritik sehalus apa pun bisa mengundang teguran pemerintah kepada media. Bahkan kata Darta, “Ada yang dibredel”.

Sekarang? Menurutnya, mengkritik apa pun tak ada respons. Misalnya soal korupsi.

Jejak kartun editoral Darta muncul dalam dua versi. Yang terkenal adalah sosok Oom Pasikom. Yang kedua pelbagai tema tanpa kehadiran si Oom.

Karya Darta, menurut Kompas TV, adalah cerminan Harian Kompas. Opini disampaikan “dengan gaya yang terkesan santai, lucu, tapi menyisipkan banyak kritik”.

Oom Pasikom, 7 September 2011 G.M. Sudarta /Kompas

Oom Pasikom orang lama

Sosok Oom Pasikom memang lekat dengan Kompas. Cobalah Anda eja berulang: pasikom-pas-si-kom-pas-sikompas.

Karakter ini selalu memakai jas dengan siku bertambal. Tak peduli elbow patch jacket sedang musim atau tidak.

Si Oom — ya, selalu dengan ejaan lama ala Belanda: dobel o, bukan “om” seperti versi KBBI — juga selalu berbaret seniman. Basq-style beret.

Si Oom muncul saat Indonesia baru likuran tahun merdeka, dan tercitrakan sebagai sosok peralihan.

Oom Pasikom adalah wakil kelas menengah Indonesia yang mengalami masa kolonial, kadang holland spreken (kata “schat” kerap muncul — artinya “sayang”), dan secara ekonomis tetap nanggung (jas tambalan) seolah tak terangkut oleh perbaikan nasib negeri merdeka. Si Oom lebih sering menjadi pentonton dan kadang korban ketidakberesan.

Sosok si Oom pernah difilmkan sebagai Oom Pasikom (Parodi Ibukota) (Chaerul Umam, 1990). Didi Petet memerankan sopir taksi bernama Oom Pasikom.

Selain di layar lebar, si Oom juga pernah disenetronkan (Dedi Setiadi, 2004), dengan pemeran Butet Kartaredjasa.

Gaya seni Darta

G.M. Sudarta selain mengartun juga melukis. Karyanya, yang bukan hanya di atas kanvas, misalnya instalasi, pernah dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta, 2011, setelah ia pensiun dari Kompas Gramedia, dan menyepi di Klaten, Jawa Tengah, daerah kelahirannya.

Sebagai kartunis, Darta mulai 1980-an, sepulang dari Jepang, memulai gaya peneraan baru di Indonesia. Ia memakai stempel (merah). Dengan tulisan tangan: GMSu-Darta. Sebelumnya hanya semacam tanda tangan “darta” — dalam huruf kecil semua.

Huruf GM dalam stempel mengingatkan orang kepada logo penerbit Gramedia Pustaka Utama. Memang ia yang membuatya, tahun 1970-an. Sebagian kalangan internal menyebutnya GM. Inisial yang sama dengan sastrawan Goenawan Mohamad.

Tentang stempel, pensiunan wartawan Kompas di Bogor, Puniman, mengenang pernah diberi stempel bikinan Darta awal 1970-an.

Darta pula yang merancang logo Bentara Budaya (BB), lembaga kebudayaan milik Kompas Gramedia, dengan dua huruf Jawa “ba” tumpang tindih.

Tak layak di gedung terhormat

Bagi BB, Darta bukan hanya pembuat logo. Ia, bersama pemimpin umum Kompas, Petrus Kanisius Ojong (1920-1980), mulai awal 1970-an berburu lukisan, antara lain ke Bali, untuk mengisi koleksi perusahaan.

Koleksi barang seni itu yang kemudian menjadi pengisi Gramedia Art Gallery di Jalan Pintu Air, Jakarta (1974).

Pada 1982 galeri berganti nama menjadi Bentara Budaya, bukan di Jakarta melainkan Yogyakarta, dengan klaim diri (juga) menampilkan karya yang tak layak tampil di gedung terhormat. Maka peresmian BB diisi pameran lukisan kaca tradisional karya Citro Waluyo (Surakarta) dan Sastro Gambar (Muntilan) dari Jawa Tengah. Tiga tahun kemudian berdirilah BB Jakarta di Palmerah.

Nama Bentara terkesan alkitabiah karena jarang dipakai sehari-hari, bahkan oleh media. Namun bagi tempat bekerja Darta, itu adalah nama sang induk penerbit koran: Yayasan Bentara Rakyat.

Frans Sartono, direktur program BB, berkata kepada Beritagar.id, “Mas GM menjadi salah satu peletak dasar visi dan arah gerak BB yang sebenarnya merupakan visi kultural Harian Kompas.”

Ia lanjutkan, “Pilihan-pilihan karya yang ditampilkan dan koleksi mencerminkan visi tersebut. Ada keberpihakan pada mereka yang terlupakan, yang luput dari perhatian, dan mereka yang terpinggirkan.”

Kini sang bentara kebudayaan telah kembali kepada Sang Pencipta.

 

https://www.youtube.com/watch?v=Ej2NhJhuEyA
Karakter Oom Pasikom karya GM Sudarta /Harian Kompas

 

Dimuat dalam Beritagar.id (Sabtu, 30 Juni 2018)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *