Saya angkat kupluk untuk koran Kompas yang membuat judul berima dengan pas, “Dibuat Si Papa, Diokupasi Si Kaya” sebagai padanan created by the poor, stolen by the rich dalam membahas Citayam Fashion Week (CFW). Versi koran cetak, yang tentu sama dengan e-paper, berbeda dari versi digital Kompas.id. Dalam versi digital, fotonya lebih banyak.
Ada tiga soal yang menarik bagi saya, yakni bahasa, sudut pandang, dan pembingkaian.
Pertama: bahasa. Dari sisi pilihan kata, Kompas berani melekatkan kata yang jarang dipakai, yakni “papa”, padahal istilah “miskin dan papa” masih terdengar. Saya belum menyelisik apakah bahasa Indonesia menyerap “papa” dari bahasa Inggris dan Belanda: “pauper“. Artinya melarat kesrakat parah. Miskin semiskin-miskinnya. Kéré sakpol-polé.
Yang pasti dalam peta media di Indonesia ada peluang menarik untuk mengkaji secara ilmiah cara pun gaya redaksi media berbahasa, bukan cuma iseng sok serius ala narablog (¬ lihat: “Media dan Bahasa yang Ramah Pembaca” ). Termasuk juga soal pilihan kata “signifikan”, dan “prosesi“. Adapun “melansir” akan saya bahas lain waktu.
Kedua: sudut pandang. Setiap kali ada isu publik yang menarik, saat itu pula terbuka kesempatan untuk mengkaji dan menganalisis pemosisian diri setiap media. Ada yang hanya larut bermain berita langsung, kadang dengan merujuk akun kuat di media sosial, bukan karena isinya melainkan siapanya, dan di ujung lain ada media yang mencoba menyodorkan fakta sekaligus pemaknaan sepihak.
Saya bukan orang dengan kapasitas mampu menganalisis konten dengan pisau bedah tajam, maka saya hanya melihat sekilas. Keragaman langgam pemberitaan ihwal CFW juga Anda lihat, bukan?
Kesimpulan saya, seperti saya duga atau prasangkakan sebelumnya, koran Kompas dan Kompas.id akan menempatkan posisi diri sebagai kelas menengah (sok) kritis dengan sudut pandang cenderung sinis terhadap sesama kelas menengah urban (misalnya dalam liputan yang saya bahas ini), namun di sisi lain menguak fakta dengan empati, terjun ke lapangan di luar SCBD (¬ lihat: “Citayam Style, dari Kampung Lio ke Haradukuh“).
Ketiga: pembingkaian. Posisi diri Kompas jelas, demikian pula sudut pandangnya, maka untuk itu diperlukan sebuah penguat yaitu pembingkaian. Dengan apa? Foto, tuturan, dan kutipan.
Memang bisa saja Anda menyanggah, apakah bukan justru pembingkaian (framing) yang pertama, setelahnya itu baru proses kerja jurnalistik di lapangan maupun meja agar sesuai bingkai?
Baiklah saya tak menyangkalnya. Namun dari sisi konsumen media, eh pembaca, tangkapan terhadap bingkai akan semakin utuh setelah mengamati gambar dan membaca teks sampai tuntas.
°°°°°
Contoh isi dalam berita. Ketiga hal di atas akan terbuktikan dengan beberapa kutipan saya terhadap paragraf, isi cabutan (pull quote) maupun pengutipan langsung ucapan narasumber.
Saya memilih menampilkan tangkapan layar, bukan salin dan tempel (copy and paste), supaya lebih terlihat sebagai konten sebuah media, bukan sebagai paragraf dalam blog, lagi pula ponsel Anda dapat memindai teks dalam gambar.
Halah, di medsos juga ada. Lho bukannya keragaman sudut pandang terhadap CSW lebih dahulu ada dan lebih kaya di media sosial, lengkap dengan video wawancara oleh warganet? Sangat benar dan betul.
Justru antara lain karena itu saya membuat posting ini. Sejujurnya saya bertanya kepada banyak media, ketika medsos terus menguat apakah media berita, sebagai lembaga, hanya larut mengikuti isu, ke mana pun angin bertiup, sangat berkiblat ke konten medsos, dengan disertai tangkapan layar maupun konten sematan (embedded), semata demi trafik? Pokoknya asal ramai ya ambil?
Saya tak menutup mata terhadap masalah sebagian media berita saat ini, dari sisi aneka sumber daya, yang berimbas ke biaya produksi konten, dan di sisi lain ada soal pendapatan. Dalam situasi dan kondisi yang belum tentu ideal harus berlari bersama aneka platform medsos.
Dalam lelucon mumet terkatakan bahwa alat dan akses plus pengalaman warganet pemilik akun di medsos dalam isu gaya hidup lebih bagus daripada jurnalis. Lalu muncul celetukan, jurnalis tak harus menjadi makmur dahulu namun yang penting punya perspektif dalam meneropong isu. Mungkin itu guyon asal-asalan akibat racikan minuman.
Jika Anda punya waktu, dan kebetulan seorang warga perguruan tinggi, akan menyenangkan membedah liputan media dalam isu CFW. Saya menduga sudah ada calon skripsi perihal CFW.
Tak hanya soal CFW tetapi juga hal lain yang dapat dibedah. Saya belum membaca isinya, namun dari berita laman universitas pekan lalu, saya menjadi tahu disertasi Isman Kansong, Dirjen IKP Kemkominfo, yang membahas posisi media dalam isu politik identitas selama Pilgub DKI 2017 (@¬ Berita FISIP UI). Selain itu ada juga opini Syaifudin Simon tentang disertasi tersebut (¬ Orbit Indonesia).