Harga kerupuk ini di warung tetangga seribu rupiah per lembar. Rasa yang lumayan enak dari merek Irma dan Muzaki. Dalam segala situasi dan kondisi ekonomi, kerupuk tapioka atau kerupuk aci ini selalu hadir. Versi asli dan mula-mula kerupuk ini dari Cikoneng, Ciamis, Jabar (¬ Ditjen Kebudayaan Kemendikbud).
Waktu saya bocah dahulu, di Yogyakarta dan Salatiga, pabrik kerupuk biasanya memang milik orang Sunda. Penjajanya yang membawa pikulan maupun naik sepeda juga orang Sunda. Sebagian warga kampung di Salatiga menyebutnya “wong mBandung” — padahal Ciamis.
Beberapa hari lalu koran Kompas dan situs Kompas.id memuat foto industri kerupuk, yang menyiasati kenaikan harga bahan baku dengan memperkecil ukuran produk. Harga jual tetap Rp600 per lembar.
Ada dua hal yang menarik bagi saya dalam galeri foto itu. Pertama: seperti umumnya pabrik kerupuk, pengeringan kerupuk mentah masih mengandalkan matahari. Itulah sebabnya jika musim hujan berkepanjangan, kerupuk yang kita beli kurang mengembang.
Kedua: pencetakan keping kerupuk mentah menggunakan teknologi yang lebih maju. Dahulu mereka menggunakan wadah adonan yang digantungkan pada palang kayu atau bambu, lalu agar isi adonan mecothot ke bawah maka ada alat penekan yang diberati batu seukuran helm, kemudian di bawah lubang pecothotan ada tangan pekerja memegang bekas kaleng pastiles Wybert.
Tangan pekerja memutar-mutar kaleng telentang itu seperti orang zaman sekarang melakukan kalibrasi GPS pada ponsel. Hasil gerakan itu menghasilkan pola pecothotan seperti benang ruwet. Itulah keping kerupuk mentah — belum menjadi lembar kerupuk.
Saya beruntung, saat bocah pernah beroleh kesempatan mencetak kerupuk dengan kaleng Wybert itu di pabrik. Saat tangan kanan memegang kaleng untuk menadah pecothotan, tangan kiri harus sudah siap dengan kaleng kosong.
Meskipun demikian, pengalaman memproduksi kerupuk saya itu cemen turistik, tak sehebat teman saya. Saat SMP dia minggat dari Yogyakarta, naik truk demi truk, akhirnya terdampar di Medan, dan bekerja di pabrik kerupuk. Ketika uang habis, dia menyurati ibunya, seorang dokter penyakit dalam, istri seorang ilmuwan alumnus MIT, minta dikirimi uang. Yang akhirnya datang adalah uang dan tiket pesawat.
Bocah buruh itu di kemudian hari dikenal sebagainya sastrawan, budayawan, fotografer, pembedah komik (disertasinya tentang Panji Tengkorak; promotor: Sapardi Djoko Damono), dan juri festival film. Dia pernah menjadi rektor. Hingga kini dia masih produktif.
4 Comments
Biasanya saya beli kerupuk daari penjual asal Sragen, Jateng (https://skoyndembik.wordpress.com/2022/03/31/berjualan-kerupuk-dari-sragen-hingga-ke-solo/) tapi sekitar seminggu lalu saya beli dari penjual asal mBandung karena yang dari Sragen lama tidak nongol. Ternyata anak saya tidak doyan, “enggak enak,” katanya. Alhasil, saya habiskan sendiri selama beberapa hari. 😬
Tentang kaleng Wybert dalam dunia perkerupukan, ini pengetahuan baru buat saya. Dan saya beruntung karena pernah mengenal sekaligus merasakan pastiles tersebut.😁
Tentang SGA, dia memang dahsyat.
Kerupuk putih yang versi kedai enak biasanya enak, harganya juga enak, minimal dua kali lipat 😁
Oh belum pernah lihat pabrik kerupuk ya? Saya waktu kecil pemasaran bagaimana kerupuk dibikin, tahu dibuat, dan enting-enting dibikin. Juga bagaimana klepon dibikin, pangsit dibikin. Saya cari cara supaya bisa lihat 😇
Pabrik kerupuk belum pernah lihat karena di lingkungan saya saat kecil hingga tua begini enggak ada.