Dulu orang pergi bekerja tanpa membawa apa-apa, bahkan bolpoin pun tidak, sehingga tidak butuh tas. Kini asal ke luar rumah bawa tas.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Sejak kapan pria selalu bawa tas kecil?

Sungguh pertanyaan naif yang tak perlu. Jawaban saya: sejak dulu pria bawa tas. Yakin? Tergantung siapa dan kapan.

Saya menanya diri sendiri soal tas saat membersihkan tas selempang yang bisa memuat tablet 10″. Ini bukan tas kerja. Bukan tas harian. Hanya kalau memang perlu tas kecil pasti saya bawa, dan itu pun belum tentu sekali dalam sepekan. Sepanjang semua barang bisa masuk saku, saya lebih suka tanpa tas. Saya sering lupa saat meletakkan atau menyampirkan tas ke kursi.

Pandemi dan optimisme bahwa semua akan cepat berlalu, termasuk krisis finansial, lalu saya akan punya kesibukan yang dibayar lagi, membuat saya terlena, membiarkan semua tas stand by di gudang dan kursi kerja di rumah, sampai akhirnya saya sadar lalu saya bersihkan semua dan saya simpan. Tapi tas selempang kecil ini terlewat, tetap tergantung di cantelan gudang. Di dalamnya masih ada bolpoin dan lainnya.

Kembali ke soal, sejak kapan pria selalu memakai tas? Secara umum sejak ada ponsel. Orang butuh charger. Kalau dia perokok, saku celana kurang memadai untuk ponsel, kabel, pengecas, dan sigaret — apalagi kalau dia vaper.

Tapi pendapat barusan, bahwa tas kecil disukai setelah ada ponsel, juga tak tepat. Gambar rocker Indonesia medio 1970-an, menunjukkan tas kecil kulit seukuran wadah minum anak TK pernah disukai. Poster Giant Step bertelanjang dada menunjukkan itu.

Lalu tas pinggang mulai 1980? Tak semua pria suka, apalagi jika memakai kemeja dan celana halus. Tas pinggang hanya cocok untuk busana kasual, kalau pun berkemeja halus hanya saat traveling ke luar negeri dan naik pesawat, supaya tak berkalung tas paspor dan boarding pass, sekalian memasukkan kamera saku.

Di luar itu, tas pinggang disukai sopir angkot, tapi kadang dikalungkan pada batang setir atau malah leher.

Lalu marilah mundur ke abad lalu, sebelum ada ponsel. Dulu tak semua pegawai kantor membawa tas, kecuali berurusan dengan kertas. Mereka cukup mengantongi bolpoin — tapi kalau selalu mengempit koran bisa disangka copet. Misalnya sudah berkacamata bening, tapi butuh kacamata gelap, wadah kacamata Ray Ban pada ikat pinggang pun cukup. Gaya oom-oom cunihin, kata orang. Di luar hari kerja, pada 1990-an, wadah Ray Ban dengan pantalon halus plus kaus sekilau satin berkerah, dengan motif ala Versace, dan pantofel hitam, dijamin klop — bagi penyukanya.

Kini hampir semua pria membawa tas saat keluar rumah. Dari tas pinggang, tas selempang aneka ukuran, sampai ransel. Tak ada yang membawa hard case maupun koper mungil, padahal lebih kuat. Tapi jika ya, akan seperti zaman dahulu, saat anak-anak membawa pit box Tamiya — eh, padahal besar juga, melebihi lunch box.

Sebelum ada pandemi, terlihat makin banyak pria membawa tas adalah dalam angkutan umum. Dalam angkutan kecil, minibus, yang duduk memangku tas bukan hanya perempuan. Dalam angkutan besar, bus dan KRL, jejalan penumpang bertas membuat ruang berjalan itu makin sesak.

4 thoughts on “Sejak kapan pria selalu bawa tas (kecil)?

  1. saya punya tas kecil multigaya, bisa jadi tas pinggang, atau selempang, biasanya untuk menyimpan paspor saat bepergian..

    dulu saya punya tas kecil untuk menyimpan ponsel, ditaruh di pinggang. sibilang om-om ya biarin, karena saya tidak suka mengantongi ponsel di celana. sayangnya saya tidak lagi nemu tas ponsel pinggang yang cocok.. sepertinya sudah tidak ada yang produksi..

  2. Apakah tas pinggang termasuk tas kecil? Jika iya. maka jawaban saya untuk judul di atas adalah : sejak saya jadi reporter sekitar 1995 silam.

    Setelah itu, mulai tahun berapa sy lupa, sy tinggalkan tas pinggang demi ransel — sampai sekarang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *