“Dulu kami membelakangi kali. Semua dibuang ke belakang. Sekarang kami menghadap ke kali, kami sambil jaga kali,” ujar Andi, Ketua Koperasi Komunitas Anak Sungai Ciliwung.
Memutar arah harap rumah. Ekstremnya begitu. Kali bukan lagi halaman belakang melainkan halaman depan. Proses transformasi ini tak mudah. Tak hanya melibatkan satu dua rumah melainkan semua rumah pinggir kali (girli) di Pademangan, Jakbar.
Padahal kampung itu pernah hampir digusur. Kemudian wadah komunal warga menata diri. Laporan mendalam, dengan foto menarik, di Kompas.id kemarin tentang kampung ini, sebagai bagian dari paket reportase permukiman, sungguh mencerahkan.
Memang sih, ketika membaca judul versi e-paper saya sempat salah sangka: yang nyaris hilang adalah “wajah kampung”. Adapun dalam versi web, yang nyaris hilang adalah “wajah menawan kampung”.
Bahasa jurnalistik dalam penjudulan memang bisa merepotkan karena mengutamakan ekonomi kata. Pertimbangan grafis tata letak koran akhirnya meringkas judul itu, namun tetap menyisakan wayuh arti: yang nyaris hilang itu wajahnya atau kampungnya?
Yang penting laporan ini memperkaya pemahaman pembaca tentang penataan kampung girli: kesadaran spasial atau keruangan warga harus diubah. Abad lalu ketika Y.B. Mangunwijaya ketika menata sebagian ledok girli Code, Yogyakarta, dia berpendapat janganlah memunggungi kali.
Begitulah, kita yang tak bermukim di girli juga cenderung menjadikan bagian belakang rumah kita untuk apa saja yang menurut kita tak pantas di depan rumah.
Mengubah alam pikir. Bukan perkara mudah. Memang setelah wajah berubah, menjadi lebih nyaman bagi penghuni, masih ada sisa masalah di tiga kampung itu (Tongkol, Lodan, dan Kerapu): legalitas lahan.
2 Comments
Menurut saya, kawasan Pademangan, Gunung Sahari dan Kemayoran masih terasa kental Jakarta-nya. Saat saya lewat, aura tahun ’70-an masih terasa. Kesadaran warga saya rasa cukup tinggi. Walau di depan kali pun rumah mereka bersih. Maaf, daerah Lodan dan sekitarnya memang agak sulit mungkin dikarenakan terhalang oleh Mangga Dua dan Ancol. Selain itu pertigaan rel kereta. Tapi Pademangan saya rasa bisa asri asal pasarnya bersih. Enak jalurnya. Dari Pademangan dekat ke kawasan lapang Kemayoran dan nyambung ke Sunter serta Ancol. Andailah kali itu bersih secara kooperatif dari hulu hingga muara, Pademangan bisa jadi jalur girli yang hijau seperti BKT Pondok Bambu. Tapi, ya itu. PK5 telah nimbrung lagi di kehijauan itu. Jadinya, tekad warga girli bertahan dan berupaya menghijaukan di tengah kondisi sempit jadi buyar. Tetap penataannya kesadaran dan menyelaraskan segera konservasi alam atau lingkungan. Kecil pun, akan menjadi kampung yang indah seperti halnya mungkin kawasan Kuta dan Legian serasa di taman melewati perkampungan padat dengan berlomba memperindah yang akhirnya bersih dan cocok buat bersantai atau tinggal dengan nyaman. Begitu kira-kira Pak sumbangsih saya pada tulisan ini. Semoga relevan. Paling tidak saya ikut berbagi secuil.
Betul. Dulu banyak kampung yang nyaman. Lalu laju urbanisasi berikut pertambahan kepemilikan motor dan mobil menjadikan semrawut.
Pemerintah telat menata transportasi publik dan rumah tingkat nan murah. Mestinya sejak dulu ketika kredit motor dan mobil masih sulit.
Kota bertumbuh secara organik alias suka-suka. IMB atau apa itu namanya gak penting padahal menyangkut tata ruang urban.