Belimbing wuluh, daun jeruk, daun salam, dan daun pandan adalah tanaman sosial. Tetangga ikut memanfaatkannya.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Minta belimbing wuluh milik tetangga di pinggir kali Chandra Baru dekat Masjid Al Huda

Mungkin sebelumnya ada yang menuai sehingga yang tersisa dalam batas raihan tangan saya tinggal belimbing wuluh kecil masih muda, bukan belimbing tua yang tersentuh tangan langsung jatuh.

Barusan saya minta belimbing wuluh kepada tetangga yang menanam pohonnya di seberang rumah, tanggul kali. Nyonya rumah mengizinkan dan malah memberikan kantong plastik.

Sambil memetik saya teringat tembang Jawa “Ilir-Ilir”. Seorang bocah gembala (cah angon) disuruh memetik belimbing, tapi bukan wuluh, dengan memanjat pohonnya. Meskipun licin dia harus memanjat. Untuk belimbing wuluh tanggul itu saya tak perlu memanjat, tak perlu memanfaatkan gagang payung seperti ibu lain, sebab kalau memanjat saya bisa menjadi warta, gembala tua tercebur kali.

Belimbing wuluh adalah tanaman sosial. Sejauh saya tahu jarang yang menjualnya. Kalau tak punya pohon sendiri ya minta dari orang lain. Tetangga saya ada yang menanam jeruk purut agar daunnya bisa dipetik sendiri, sekalian membolehkan orang lain ikut memanfaatkannya. Hal sama berlaku pada daun pandan dan daun salam. Begitu pun bunga kemboja yang gugur. Itulah pertetanggaan berpagar mangkuk atau pager mangkok.

Dulu di Salatiga ibu saya punya tanaman rambat entah apa namanya. Daunnya biasanya untuk menghias peti mati. Setiap kali Ibu berangkat memandikan jenazah saya sudah tahu, berarti akan ada orang datang minta daun itu. Karena dulu belum ada WhatsApp, bisa terjadi seseorang mengabarkan info lelayu sekalian minta daun itu.

Tak hanya daun namun juga pepaya. Setelah anak-anak di luar kota, setiap kali ada pepaya matang pasti ada kakak adik, laki dan perempuan, berseragam SD, memencet bel pintu. Mereka permisi akan memetik pepaya. “Itu anak kampung belakang, selalu minta izin. Ya silakan saja,” kata Ibu.

Tanaman sosial tak mesti berarti tanaman yang buah atau daunnya tak disediakan oleh penjual sayur. Tiga pekan lalu tetangga saya yang telaten merawat tanaman membiarkan saja, mengamati diam-diam dari dalam, saat seorang ibu tua yang melintas, bukan tetangga, memetik cabai miliknya di pot sampai segenggam lebih.

Ibu pemilik cabai itu bilang kepada istri saya yang meminta daun jeruk, “Biarin aja. Hari gini apa-apa mahal. Cabe cuma segenggam kalo beli nggak boleh seribu.”

Ibu penanam cabai itu hanya kesal kepada anak-anak yang memetiki cabai untuk beradu lempar. “Anak-anak itu apa nggak tau kalo cabe mahal? Banyak yang butuh?” katanya. Tindakan anak-anak itu menurut saya antisosial.

Minta belimbing wuluh milik tetangga di pinggir kali Chandra Baru dekat Masjid Al Huda

2 thoughts on “Panjatkan pohon belimbing itu, meski licin sekalipun

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *