Pager mangkok, bukan pagar beton
Siang itu istri saya keluar, menenteng pisau keramik, dan bilang, “Mau cari pandan.” Putra Bu Ustaz minta dibuatkan kolak untuk berbuka puasa.
Saya sudah menebak, pasti istri saya akan ke pagar tetangga, lalu tanpa permisi memotong daun pandan. Nyonya rumah sudah mengatakan, kalau setiap kali butuh tinggal ambil.
Istri saya senang, tak perlu menyela jam istirahat maupun jam sibuk tetanha. Siapa tahu tetangga sedang tidur atau justru menikmati siaran televisi.
Tetangga lain juga membolehkan kami mengambil daun salam di halaman. Kami juga boleh mengambil belimbing wuluh.
Pager mangkok, kata seorang perempuan, teman SMP saya yang bermukim di sebuah desa di Klaten, Jateng, untuk menyebut lingkungan permukiman yang warganya masih berbagi bumbu dan masakan.
Saya tinggal di sebuah kompleks lawas tanpa kluster yang suasananya mirip kampung. Masih ada kemewahan silaturahmi bernama berbagi.
dulu di rumah orang tua juga punya tanaman pandan begini. sama juga, tetangga boleh mengambil tanpa perlu bilang. walau biasanya tetap bilang, sih. sebagai ganti, saya dulu sering disuruh ibu mengambil belimbing wuluh dari halaman rumah tetangga. tentunya tetangga juga memperbolehkan, sebagai gantinya..
Nah! Menyenangkan, kan?