↻ Lama baca < 1 menit ↬

Garam cap Perahu Kuno bergambar kapal layar, kok bisa?

Istri saya tadi menugasi suaminya membeli garam di warung tetangga, dengan weling, “Yang cap Kapal ya, Mas.”

Di warung adanya garam cap Perahu Kuno, berwujud kapal layar, harganya Rp2.500. Apa boleh bikin, tahi kambing mungkin asin.

Ada dua soal. Merek dan peristilahan bahari. Untuk merek, sudah sering terjadi merek yang tenar akan diikuti pesaing dengan gambar maupun kata yang mirip. Ini jalan pintas daripada bikin jenama yang sama sekali baru. Lebih baik bikin pasar bingung karena dari kebingungan muncul celah penjualan.

Adapun istilah dunia maritim, untuk alat angkut saja ada rakit, sampan, perahu, biduk, sekunar, kelotok, kapal, dan seterusnya. Untuk kapal ada katamaran, tanker, tongkang, kapal tunda (tug boat), kapal induk, bahtera, dan seterusnya.

Saya bukan guru bahasa maupun sejarah — pun bukan pembikin TTS maupun kuis. Namun saya mengandaikan, para murid selain ditanami pemahaman nenek moyangku “orang pelaut” dan kita adalah bangsa bahari (selain agraris), juga diajari mengenal perahu dan kapal — sekalian paham apa itu buritan, haluan, lunas, palka, dan sebagainya.

Selain kendaraan juga ada istilah geografis: muara, laut, lautan, samudra, segara, teluk, selat, semenanjung, jazirah, laguna, tanjung, ancol, dan seterusnya. Eh, apa itu barusan? Ancol? Artinya tanjung.

Apa kabar Pak Guru dan Bu Guru? Murid yang mengonsumsi garam yodium pasti akan lebih cerdas, bukan menjadi cerdas. Seperti gurunya. Seperti klaim diri dalam bungkus garam.

Garam cap Perahu Kuno bergambar kapal layar, kok bisa?