Istri saya tadi menugasi suaminya membeli garam di warung tetangga, dengan weling, “Yang cap Kapal ya, Mas.”
Di warung adanya garam cap Perahu Kuno, berwujud kapal layar, harganya Rp2.500. Apa boleh bikin, tahi kambing mungkin asin.
Ada dua soal. Merek dan peristilahan bahari. Untuk merek, sudah sering terjadi merek yang tenar akan diikuti pesaing dengan gambar maupun kata yang mirip. Ini jalan pintas daripada bikin jenama yang sama sekali baru. Lebih baik bikin pasar bingung karena dari kebingungan muncul celah penjualan.
Adapun istilah dunia maritim, untuk alat angkut saja ada rakit, sampan, perahu, biduk, sekunar, kelotok, kapal, dan seterusnya. Untuk kapal ada katamaran, tanker, tongkang, kapal tunda (tug boat), kapal induk, bahtera, dan seterusnya.
Saya bukan guru bahasa maupun sejarah — pun bukan pembikin TTS maupun kuis. Namun saya mengandaikan, para murid selain ditanami pemahaman nenek moyangku “orang pelaut” dan kita adalah bangsa bahari (selain agraris), juga diajari mengenal perahu dan kapal — sekalian paham apa itu buritan, haluan, lunas, palka, dan sebagainya.
Selain kendaraan juga ada istilah geografis: muara, laut, lautan, samudra, segara, teluk, selat, semenanjung, jazirah, laguna, tanjung, ancol, dan seterusnya. Eh, apa itu barusan? Ancol? Artinya tanjung.
Apa kabar Pak Guru dan Bu Guru? Murid yang mengonsumsi garam yodium pasti akan lebih cerdas, bukan menjadi cerdas. Seperti gurunya. Seperti klaim diri dalam bungkus garam.
7 Comments
Waaaaaaaaakssss!!!
Jadi, moral eh inti cerita, paman salah beli garam karena tidak sesuai weling bibi eh istri paman?
Tepat sekali ππ€£
dimarahin nggak tadi?
Bayangkanlah adegan Srimulat jadul.
“Sana pergiiii gi… gi… giiii…”
“Kok diulang-ulang?”
“Echo.”
tapi jangan2 tadi memang sengaja salah beli, tidak taat weling, agar dpt bahan ngeblog? π
Nasihat para guru, janganlah menganggap orang lain berperilaku seperti dirimu.
π