↻ Lama baca 2 menit ↬

RUANG PUBLIK DISAPA, SIAPA TAHU BANYAK ORANG MERASA TERWAKILI.

Mendekatkan seni kepada publik. Itulah maunya Biennale Jakarta XIV (4 Desember 2011 – 14 Januari 2012) yang bertemakan Maximum City.

Jakarta adalah gas pol. Tak pernah tidur. Apa saja ada. Atau dalam ungkapan Agum Gumelar semasa menjadi Asisten Intelijen Kodam Jaya pertengahan 90-an, “Jakarta itu apa saja ada, dari sajadah sampai haram jadah.”

Memang makin sering saja pemeran seni, termasuk foto, mendatangi kerumunan. Lebih praktis, karena tak perlu mengundang khalayak secara khusus. Di Jakarta ini hanya orang serius, pun punya waktu, yang khusus mendatangi galeri dan gedung pameran. Atau bisa juga orang kurang kerjaan…

Seperti biennale sebelumnya, gelaran kali ini juga menyapa ruang publik. Agar lebih banyak orang yang bisa melihat, merasa nikmat, dan syukur terlibat (karena terwakili). Misalnya di Taman Ayodya, taman di Kebayoran Baru yang selalu ramai dari pagi hingga jelang subuh itu.

Tertampilkan di sana kubus-kubus bercetak digital dengan ilustrasi vektor wajah ala Wedha Abdul Rasyid, bekas ilustrator majalah Hai. Bedanya, Wedha dulu mengawalinya dengan kerja manual, bukan dengan komputer.

Dulu ketika ada rock star datang ke redaksi Hai, lalu menerima potret dirinya dalam kemasan marak berkotak, dan bertanya siapa yang membuat, maka Wedha akan mengaku, “I did it.

Sebagian karya sejumlah perupa WPAP yang tertampilkan di Taman Ayodya adalah local heroes: pengamen, pedagang kaki lima, pedagang burung di los Barito… Ada juga wajah tenar, yang mungkin mewakili potret Bulungan sebagai kantong seni. Misalnya Ray Sahetapy, Alex Komang, dan Teguh Esha.

Di luar kubus-kubus itu, ada sebidang gambar besar yang canggung tersandarkan di bagian pinggir taman. Gubernur DKI Fauzi Bowo dan lima orang stafnya dalam pakaian dinas terpampang.

Si baliho bertanya, “Apakah Pencari Kerja?” Lalu ada ajakan agar pencari berlatih aneka keterampilan. Ada jaminan, “Biaya ditanggung PEMPROV DKI Jakarta.” Iya, ada kata berhuruf kapital.

Kalaupun tamatan kursus tetap tak dapat pekerjaan, silakan menjawab pertanyaan Biennale: “Survive or Escape?” Oh ya, dalam kursus ada juga bahasa Inggris supaya dapat memahami pertanyaan itu.

Saya tak tahu manakah yang lebih membuat terkesan khalayak, Foke atau, katakanlah, Harun Mister Kopi dari Ayodya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *