↻ Lama baca 2 menit ↬

TENTANG PELATIHAN INSTAN DAN MASSAL.

Sehari setelah pelatihan motivasi, pemuda itu masuk kantor dengan berseri-seri, penuh gairah. Kepada bosnya yang likuran tahun lebih tua dia katakan, “Sampeyan harus ikut pelatihan ini! Luar biasa! Top! Ayolah, Mas! Nggak rugi!”

Bosnya hanya tersenyum, manggut-manggut, lalu menanggapi, “Nanti ya, Lé.”

Dalam hati dia mencoba menakar baterai anggota stafnya itu akan bertahan berapa minggu. Sorenya dalam rapat evaluasi dan perencanaan pemuda itu tampak trengginas dan super-pede. Bicaranya jelas, tegas, dan matanya berani menatap ke sekeliling, ke arah sepuluhan peserta rapat .

Bosnya pun senang. “Lumayan hasilnya, iseng ngirim ini anak ke pelatihan ajaib-ajaiban,” bisiknya kepada wakilnya.

Sebelumnya pemuda itu cenderung bergumam ketika mempertanggungkan pekerjaan dalam rapat evaluasi — pekerjaan dia ada hubungannya dengan gambar. Begitu pula ketika menyampaikan rencana kerja. Dalam eksekusi, dia sering membiarkan diri didampingi teman yang tak berwenang. Akibatnya hasil melenceng dari penugasan karena intervensi.

Sampai seminggu setelah pelatihan oleh motivator kampiun, pemuda itu menjadi manusia baru. Tugas pun dia evaluasi per progres. Tetapi memasuki pertengahan minggu kedua baterainya mulai lemah. Akhir cerita mudah kita terka. Begitu sampai akhir minggu ketiga dia kembali ke default setting.

Tak ada pelatihan instan yang bisa mengubah seseorang kecuali yang bersangkutan menginginkannya. Itulah keyakinan saya. Motivator jempolan tak dapat mengoreksi kemalasan dan kebebalan saya, karena sudah kadung terbentuk sejak kecil. Menyembuhkan kepikunan saya? Tak mungkin — kecuali saya ingat dan berniat untuk memperbaiki diri.

Dan sejauh saya tahu, yang namanya pelatihan ini-itu — yang kurang bertaut dengan kompetensi utama — seringkali hanya menjadi selingan bagi pegawai tertentu.  Apalagi jika si pegawai jarang kontak dengan dunia luar. Pelatihan dan seminar adalah kesempatan untuk ke luar kantor, bertemu kenalan baru, syukur gebetan baru. Yang penting terlepas dari penjara rutinitas.

Saya menduga, manajemen menempatkan pelatihan sok-sokan itu, yang antara penting dan tidak, sebagai biaya hiburan supaya karyawan tidak stres, tidak depresi, apalagi sampai bunuh diri setelah mengamuk.

Teman kita Yodhia Antariksa dan Nukman Lutfie lebih memahami urusan beginian. Misalnya pelatihan harus diikuti evaluasi dan seterusnya. Bahkan sejak awal mestinya sudah dirancang sebagai bagian dari pengembangan diri karyawan. Setelah itu manajemen, bersama karyawan ketika evaluasi kinerja, memilih kelas yang relevan.

Kalau pelatihan dan sejenisnya hanya disamakan dengan latihan, atau malah terlalu diharapkan akan memberikan mukjizat akibat rayuan tenaga pemasaran sang motivator, saya yakin takkan memberi hasil.

Bukan saya tak percaya keajaiban, bukan saya tak percaya seseorang bisa berubah setelah mendapatkan pencerahan, tetapi dari seratus orang berapa yang bisa?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *