↻ Lama baca 2 menit ↬

HIKMAH DARI SPIRITUALISME JALANAN.

jarang pulang

Di tengah jejalan padat kendaraan berebut ruang, motor lelaki berhelm itu gesit mencari celah. “Jarang pulang” terpampang di rompinya. Selebihnya, setelah headline, bacalah body text di punggung rompinya.

Dia saya lihat barusan di Jakarta Selatan. Saya tak menganggap dia sedang menjemput maut. Buktinya dia tak mencemplungkan diri bersama motornya ke got. Tapi baginya, dalam tafsir saya, kematian sebagai ujung kehidupan bukanlah sesuatu yang patut ditakuti atau ditawar.

jarang pulangHari Minggu ini, seperti Ahad lainnya, saya tak ke gereja. Tapi dari lelaki berompi itu saya memetik sebuah khotbah.

Sambil menyetir menuju tujuan, saya pun teringat seorang kawan. Dia salah satu founder sebuah perusahaan dengan brand kuat. Dia tinggalkan semua kemapanan dan kenyamanan, lalu kembali ke nol, build something from scratch dari sebuah rumah kontrakan, dengan workstation kecil dekat dapur dan toilet. Pergi-pulang kerja dia lebih sering menumpang anak buahnya. Pernah ke Kemang dia naik ojek.

Dulu, pada puncak kenikmatannya menyelami hedonisme, dia sadar tentang sesuatu yang mentok. Uang seperti dihamburkan untuk memenuhi dorongan kekanak-kanakan, beli pistol pun sampai dua, dan bergaul-maul dengan para priyagung, tapi hanya kehampaan yang didapat.

Kini dia tampil biasa, Rolex dan arloji mahal tak dia pakai lagi. “Aku jual, karena kehabisan duit — pernah di dompet cuma ada dua puluh tujuh ribu (rupiah). Tapi aku nggak mau beli gituan lagi. Sudah pernah pakai ya sudah,” ungkapnya. SUV boros BBM pun dia good-bye-kan.

Kini dia lebih senang membangun sesuatu bersama orang lain agar dapat lebih berbagi. Gagal bisnis bukan masalah, karena dia berprinsip kalau dulu kere kenapa takut lagi menjadi kere.

Kini dia mencicil sebuah cara untuk mewujudkan cita-cita: membeli sepetak tanah di desa, lalu meminta tolong seorang ahli pertanian untuk membuat sebuah percontohan cara tanam sejenis buah komoditas.

Jika berhasil, model itu akan dia tularkan gratis ke petani setempat yang lebih dahulu menanam pohon yang sama.

Cara yang sama dia lakukan dengan membuat model sekolah bagus yang murah, muridnya cuma puluhan. Selebihnya urusan dia serahkan ke ahli pendidikan yang bervisi terang, “Soalnya aku bukan ahli pendidikan.”

Tapi dia tak sepenuhnya menjadi kere. Dia masih suka wine.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *