↻ Lama baca 2 menit ↬

JIKA BEGINI TERUS MAKA….

pembunuh dari IPDN/STPDN

pembunuh dari IPDN/STPDN“Jadi, mereka selama ini nggak dihukum, Pak?” mata polos bocah itu menatap lekat sambil memegang koran.

Mereka yang dia maksud adalah para terdakwa dan terpidana pembunuh siswa STPDN (kini IPDN) Wahyu Hidayat pada 2003. Mereka tetap bisa berkarier di birokrasi, termasuk yang masih merasa menunggu keputusan Mahkamah Agung.

Untunglah saya tidak, eh belum, menjadi guru IPS atau sejenisnya di sekolah. Pertanyaan macam ini gampang tapi menjawabnya tidak mudah, butuh kebijaksanaan (kalau kawicaksanan, hanya Wicak yang punya).

Guru akan kerepotan jika anak bertanya penuh desak, “Jadi, kalau nggak ada ramai berita di media, jaksa nggak akan menangkapi mereka lagi?”

Pendidikan juga berarti penanaman nilai-nilai, tentang apa saja yang luhur, yang seharusnya. Seiring perkembangan anak, tentu saja perlu penyodoran realitas untuk disikapi, bahwa apa yang semestinya ternyata jauh panggang dari api. Makin gede angka korupsi makin berkumungkinan ringan hukumannya, bahkan bisa bebas demi hukum.

Untung saya bukan guru IPS dan sejenisnya. Tanggung jawab saya tak seberat mereka. Padahal yang dihadapi tetap sama: pedagogi buruk dari penyelenggara negara.

Hanya ini yang bisa saya katakan: “Ada yang nggak beres, sayang.” Akan capek saya kalau menjelaskan belitan birokratis yang menyangkut memo, kesepakatan di luar hukum, penjaminan, sponsor atas nama semangat kedaerahan (atau malah demi kepetingan nasional), dan hal-hal aneh lainnya.

Taruh kata para terdakwa masih menunggu keputusan hukum yang berkekuatan pasti, maka demi kepentingan banyak pihak, termasuk perikeadilan dan pendidikan bagi rakyat, mestinya mereka tidak dipekerjakan.

Bagi hamba hukum, itu akan mempermudah pekerjaan, karena tinggal menangani orang biasa, bukan pejabat publik (sesuatu yang mestinya juga gampang ding).

Bagi si terdakwa, kalau kita berbaik sangka, akan lebih enak kalau dia tak menjabat — secetek apa pun jabatannya. Alangkah tak enaknya, bagi manusia normal yang berbudi luhur, jika ada bisik-bisik, “O, dia pejabat yang dulu disidang karena tuduhan membunuh itu ya?”

Misalkan mereka tak menjadi ambtenaar selagi menunggu keputusan MA, lantas setelah keluar keputusan yang mengukuhkan bagaimana?

Lebih khusus lagi sodokan hipotetis ini: sekeluarnya mereka dari menjalani hari-hari panjang (eh pendek) di rumah bui, untuk membayar tindakannya pada masa lalu, masih bolehkah jadi ambtenaar?

Semua orang tahu, meski gaji resmi tak sebesar perusahaan multi/transnasional, masih banyak orang yang mengantre jadi pegawai negeri atas sejumlah alasan. Stok yang lebih muda, dan semoga lebih cerdas lagi produktif, layak mendapat prioritas.

Tak penting adakah peraturannya, rasanya semua orang setuju (apalagi profesor pendidik calon birokrat), barang siapa eh… siapa pun yang pernah kesandung pelanggaran hukum serius, bukan cuma lupa memakai helm, tak layak jadi abdi negara.

Ternyata tak rumit persoalannya. Tak rumit untuk terpidana yang kasasinya ditolak MA. Tak rumit untuk seorang penggombal yang bukan guru IPS, bukan penegak hukum, bukan pejabat wilayah, pun bukan pemuja Dewi Formalina. Kecuali surat berkelakuan baik yang dipakai adalah dari Kepala LP: “Ybs selama blablabla… terampil mengelas dan mengobras…”.

Tautan:
+ Menimbang IPDN
+ Saya tidak anti-IPDN

© Ilustrasi: repro Koran Tempo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *