↻ Lama baca 2 menit ↬

UJIAN NASIONAL: SIAPA YANG MENGUJI SIAPA?

Inilah Indonesia. Penuh keajaiban! Ujian sekolah yang mestinya cuma acara periodik belaka, tiba-tiba menjadi urusan genting sampai ke atap kegawatan. Polisi dilibatkan. Tim independen disertakan. Semata-mata agar soal ujian tak bocor.

Itu terlihat mulai kemarin di ruang-ruang sekolah penyimpan soal. Tadi pagi pukul empat seorang guru panitia ujian SMA sudah harus bertolak dari rumah untuk mengambil berkas soal.

Tentu para guru dan birokrat pendidikan punya alasan. Kata kuncinya adalah “belajar dari pengalaman”. Memang ada yang bilang pengalaman adalah guru terbaik. Lantas ada yang meralat: guru terbaik dari IKIP (atau UNJ). Windede meralatnya: pengalaman adalah guru yang buruk, karena selalu datang terlambat.

Soal kebocoran dan contek-mencontek, di negeri lain juga ada — tapi cuma jadi berita sekelas Kilasan Kawat Dunia di Kompas. Sekadar berita aneh tapi nyata. Cuma ganjal dari kantor berita. Untuk pemancing tawa.

Di mana akar masalahnya? Pasal satu tentu contek-mencontek. Maka seorang dosen, saat menjabat ketua sebuah departemen di sebuah universitas Kristen, mengusulkan agar ujian di fakultas teologi dan fakultas ilmu keguruan tak perlu diawasi.

Alasannya, sebagian besar mahasiswa teologi adalah calon pendeta, sehingga tak mungkin mencontek. Hal sama berlaku untuk mahasiswa FKIP: sebagian besar adalah calon guru.

Pasal dua, selain contek-mencontek? Saya tak dapat merumuskannya, cuma mengurutkan serangkain dugaan ngaco bin ngawur. Dulu, ya dulu sekali, zaman para senior ketika ujian SD cuma berisi tiga mata pelajaran, ketidaklulusan bukanlah malapetaka.

Hal sama berlaku untuk SMP dan SMA. Ketidaklulusan hanyalah sisi lain dari sekeping mata uang bernama ujian. Ada yang lulus, ada yang tak lulus.

Tapi kemudian, tampaknya, tingkat kelulusan menyangkut prestasi sekolah. Ketidaklulusan (dalam ujian negara) jadi beban. Ketidaklulusan murid adalah potret ketidakbecusan guru. Apalagi untuk sekolah yang diongkosi oleh rakyat, yang gurunya digaji oleh pemerintah.

Saat itulah, ketika masih bocah, saya mulai mendengar kabar sumir yang tak terbuktikan tentang dongkrakan, katrolan, pembocoran nilai. Sama sumirnya dengan kabar kabur bahwa (dulu) dengan nilai yang sama, peluang lulusan SMA swasta ada di bawah lulusan SMA negeri untuk lolos seleksi PTN. Serupa sumirnya dengan kabar burung bahwa PTN tertentu (dulu) membatasi populasi mahasiswa keturunan Cina.

Itu tadi masih ditambah dengan tata istilah yang membingungkan awam. Dulunya ujian cuma berpadan dengan “eksamen”. Kemudian ada “evaluasi belajar”. Ada pula “tamat belajar” dan “lulus”.

Lantas di kemudian hari ada rumus kelulusan yang bisa digonta-ganti untuk menyelamatkan mayoritas siswa. Dan yang terbaru, lembaga penyelenggara bimbingan tes ikut tender, masuk ke sekolah. Itu melengkapi kabar lama (sumir sih) bahwa guru sekolah tertentu mendapatkan komisi dari penerbit buku.

Lantas apa hubungan itu semua dengan kebocoran, penjagaan oleh polisi, dan pengawasan oleh tim independen?

Saya tidak tahu. Barangkali memang tidak ada hubungannya. Maklum, saya bukan ahli maupun pengamat pendidikan. Lebih sial lagi saya memang kurang terdidik, sehingga jumlah ijazah saya terbatas.

Jadi, sebaiknya, karut-marut ini kita tanyakan kepada Pak Polisi. Minimal Pak Polisi penjaga ujian tertulis SIM. Kalau dia bingung, kita tanyai polisi tidur di depan rumah kita.

NB: Di sekolah anjing yang diurusi polisi, kabarnya tidak ada pembocoran maupun kebocoran mata ujian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *