Hiburan kudu menyenangkan, bukan bikin sedih berkepanjangan

Menurut data, penonton suka film ber-happy ending. Salahkah jika media berita menyiginya?

▒ Lama baca < 1 menit

Infografik: orang Indonesia suka film happy ending - Kompas — Blogombal.com

Cerita dalam film Indonesia terlaris selama 2007–2025 itu 40,7 persen berakhir bahagia, 32,6 persen berakhir ambigu, dan 26,67 persen berakhir tragis. Demikian laporan Kompas hari ini (Jumat 31/10/2025).

Atas nama jurnalisme data, Kompas membedah isi dan selera penonton film di bioskop dan Netflix. Happy ending dalam film dan serial di Netflix Indonesia lebih besar: 53,28 persen.

Liputan panjang ini besok masih berlanjut. Namun saya tak membahas soal film dan selera penonton, karena ada soal lain. Teman saya paling sebal dengan jurnalisme data, “Apa-apa kok dikuantifikasi, seolah lebih mencerminkan realitas sosial.”

Infografik: orang Indonesia suka film happy ending - Kompas — Blogombal.com

Adapun soal wawancara dengan sejumlah narasumber dia nilai cuma justifikasi untuk framing. Namun ada satu jenis hasil survei, termasuk oleh media, yang dia sukai yakni suputar presiden.

Teman lain menganggap koran semacam Kompas itu mencerminkan kegenitan kelas menengah. Dengan maupun tanpa jurnalisme data, “Mereka sering mengejek kelas menengah. Padahal wartawan Kompas juga kelas menengah.”

Dia contohkan liputan panjang soal gaya hidup, dari demam padel sampai war ticket, lalu experience economy sampai FOMO, pasti tersirat ejekan terhadap kelas menengah. Terhadap liputan investigatif Kompas perihal sniker palsu, sampai melibatkan penguji independen untuk membedah sampel sepatu, “Itu ngécé kelas menengah.”

Teman lain yang berpendapat serupa menambahkan catatan: liputan kuliner Kompas, termasuk yang menyerupai, inforial sering kali terlalu tinggi kelasnya. Apalagi saat membahas jam tangan. Hal itu masih ditambah test drive mobil seharga di atas Rp1 miliar.

Saya tak akan memindahkan perdebatan ke dalam pos ini. Setiap media punya target konsumen. Konten mengikuti sasaran. Soal semboyan Amanat Hati Nurani Rakyat pun mungkin ada yang menyoal.

Infografik: orang Indonesia suka film happy ending - Kompas — Blogombal.com

Bagi saya lebih menarik jika media yang bermain jurnalisme data, investigasi, dan liputan berkisah yang mendalam bukan cuma itu-itu saja supaya masyarakat dapat membandingkan cermin yang disodorkan kepada mereka.

Apakah harus oleh media berita? Tentu tidak. Aneka platform media sosial memberi kesempatan kepada siapa saja untuk mengemas cermin Indonesia, dari gaya kanal YouTube Watchdoc Documentary, Indonesia Baru, sampai gaya features Dua Sepatu, AdjieID Walking, dan Folix Media — sekadar contoh homeless media.

Tentu untuk organisasi berita ada Project Multatuli, media yang tak bermain di berita sela nan singkat berlekas-lekas.

Tinggalkan Balasan