
Sampai sekarang saya tak tak paham kenapa sate maranggi, yang berpusat di Purwakarta, Jabar, menggunakan jenama Haji Yetty, bukan Hj. Yetty maupun Hajjah Yetty. Kalau mengikuti ejaan dalam KBBI adalah Hajah Yetty. Anda yang lebih paham bahasa Arab mungkin dapat menjelaskan. Di cabang Cibubur, bukan di Jaktim namun masuk wilayah Depok, saya tak menanya kasir karena sungkan.
Sebutan Bu diikuti jabatan, atribut, atau profesi, memang bisa merepotkan. Dua hari lalu saya bersua orang akan yang mengurus surat sipil ke Bu RT. Ternyata yang menjadi ketua RT adalah suaminya. Hal serupa bisa berlaku pada Bu Lurah, Bu Wali Kota, dan Bu Pendeta, karena bisa berarti suaminya yang menyandang atribut. Sebutan Bu Haji kadang bukan untuk Bu Hajah karena suaminya dipanggil Pak Haji, terutama dulu ketika tak semua pasangan berhaji bersama.
Hal serupa terjadi pada sebutan Mama dan Bunda untuk bisnis. Mama Ayu dan Bunda Nia adalah nama warung milik ibu dari Ayu dan Nia. Warung gado-gado Mpok Fira, yang tempo hari saya ceritakan, itu milik ibunya Fira.
Di kalangan orangtua murid juga biasa jika antarortu dari anak yang sekelas menyebut nama Mama Agus maupun Bunda Tia. Saya ingat ketika sebagai bapak muda sekaligus warga baru ikut rapat RT pertama kali. Pak RT mempersilakan, “Pendapat Papa Anu gimana?” Anu adalah nama putri saya yang baru enam bulan. Maka saya sekalian secara resmi memperkenalkan diri, “Nama saya adalah…”

Anda yang mengalami serial televisi Si Unyil mungkin tahu nama ayah dari Unyil yang dalam cerita disebut sebagai Pak Unyil. Unyil itu awet muda, jadi bocah terus. Serupa Kwik, Kwak, dan Kwek, keponakan Paman Donal yang tak kunjung jadi kakek namun awet ngeselin sekaligus lucu dengan komposisi 9:1 — tergantung mood pembaca komik tentang mereka.

2 Comments
Jangan-jangan Yetty itu wong lanang….
Husss….
Kalo Raminten adalah Hamzah Mirota