Ponsel bukan untuk membuka laman web

Karena semua konten ada di banyak aplikasi maka sebagian orang jarang memakai peramban ponsel.

▒ Lama baca 2 menit

Desktop versus mobile — Blogombal.com

Ibu saya (92) kesal jika dalam pesan via WhatsApp ada teks bergaris bawah biru. “Aku bingung,” katanya.

Dalam usia sekian, Ibu yang tak pernah akrab dengan komputer itu rajin menggunakan WhatsApp, menyapa anak dan cucu, selain juga membagikan foto dan video yang dia terima dari temannya. Ibu kadang juga berbagi foto jepretan sendiri, misalnya setandan pisang kepok yang dipetikkan dari halaman samping di rumah Yogyakarta.

Singkat kata, Ibu tak akrab dengan peramban ponsel (mobile browser). Tetapi banyak orang yang lebih muda dari ibu saya juga tak terbiasa dengan peramban ponsel. Eh, banyak? Berapa?

Oh, ini dugaan sumir. Untuk menyebutnya kesimpulan gegabah pun saya tak berani. Saya tak melakukan survei. Bahkan orang yang saya amati tak sampai tiga puluh. Saya beroleh kesan, sejumlah orang dewasa dengan keragaman jenis kelamin dan latar belakang, tak akrab dengan peramban ponsel.

Seorang bapak 78 tahun yang akrab dengan internet melalui PC, tentu menggunakan peramban, bingung ketika saya beri tautan sebuah laman web yang mengarsipkan karyanya. “Dari handphone gimana caranya?” dia bertanya.

Sejumlah bapak dan ibu lansia, sudah pensiun, juga tak akrab dengan laman web di ponsel. Padahal selama bekerja mereka menggunakan desktop.

Memang, banyak statistik menyatakan makin lumrah orang mengakses laman web via ponsel. Tetapi kasus yang saya jumpai berbeda, termasuk dari teman semasa SMP dan SMA.

Nah, dari mengobrol secara terpisah maupun sekaligus dengan beberapa orang, saya menyimpulkan penyebab mereka tak akrab dengan peramban ponsel. Antara lain:

  • Tak ada alasan memanfaatkan peramban, antara lain karena tak terbiasa mencari informasi dengan cara yang disebut googling
  • Pintu gerbang informasi mereka adalah WhatsApp, sering kali dari aplikasi perpesanan itu semua info sudah tersedia
  • Misalnya pun ada tautan, begitu mereka klik akan menghasilkan kunjungan ke aplikasi Facebook dan TikTok, dua aplikasi yang mereka gemari — dan sebagian lagi juga menggunakan Instagram
  • Aplikasi lain yang mereka akrabi adalah YouTube, sehingga tautan video ke aplikasi tersebut bukan masalah
  • Informasi lain berupa tautan, jika setelah mereka klik menghasilkan tawaran untuk menginstalasi atau mengaktifkan aplikasi akan mereka tolak
  • Meskipun dalam ponsel mereka ada peramban bawaan, setiap giringan ke laman web akan mereka tutup atau abaikan

Setelah ada layanan belanja via TikTok dengan pembayaran COD, sebagian dari mereka dapat memanfaatkannya. Untuk aplikasi perbankan, dompet digital, dan belanja non-TikTok, mereka tak berminat. Aplikasi lawas mikroblog Twitter yang kemudian menjadi X tak mereka akrabi.

Saya tak tahu apakah karena mereka cenderung lebih menyukai gambar dan video, bukan teks, sehingga tak berkepentingan dengan peramban. Termasuk dalam gambar adalah tangkapan layar situs berita atau situs yang mirip berita. Bagi mereka hal itu sudah cukup. Demikian pula dengan video pendek tanpa tautan yang mereka yakini sebagai berita dan tip kesehatan yang andal.

Amatan sekilas dan temuan terbatas saya tentu tidak sahih. Namun saya tetap heran. Jangan-jangan orang yang jauh lebih muda dari saya juga heran melihat kebiasaan saya dalam berinternet, lalu berkomentar, “Nggak gitu konsepnya.”

Desktop versus mobile - infografik — Blogombal.com
Sumber: Visual Capitalist / Voronoi

Dulu sebelum era ponsel cerdas, saya bingung mendengar keterangan seseorang, “Saya nggak pake internet di hape. Cuma pake FB.”

Mungkin di mata kaum muda, saya tak beda dengan orang yang tak berinternet via ponsel tetapi menggunakan Facebook. Atau malah, “Nggak pake internet, cuma WA.”

Tinggalkan Balasan