Otak busuk dan busuk otak

Brain rot ramai diperbincangkan. Isu ini masih elitis?

▒ Lama baca 2 menit

Masalah brain rot di Indonesia — Blogombal.com

Dasar otak busuk. Emang hatinya busuk. Tak ada yang indah dari kedua istilah itu. Saya teringat kedua istilah tersebut setelah membaca surat fisikawan, kolumnis, dan bahasawan Liek Wilardjo di Kompas (Senin, 30/6/2025).

Masalah brain rot di Indonesia — Blogombal.com

Busuk otak, sebagai hasil peringkasan pembusukan otak, tentu berbeda dari otak busuk. Apa itu brain rot dan brain decay secara klinis, entahlah. Tetapi keduanya diindonesiakan sebagai pembusukan otak. Kalau brain damage dan brain injury beda lagi. Begitu pula Brain Salad Surgery, kalau itu sih album rock progresif klasik trio Emerson, Lake & Palmer (1973).

Masalah brain rot di Indonesia — Blogombal.com

Sejak Juni lalu Kompas terus membahas brain rot. Belum sepenuhnya saya pahami, apalagi pemahaman neurosains saya payah. Kesan saya, isu brain rot belum mengemuka secara luas.

Saya tak melakukan riset konten dari aneka pelantar lalu menelaahnya. Saya hanya melihat sekilas di grup WhatsApp. Tak ada yang meneruskan video maupun teks dan infografik seputar brain rot. Padahal di grup-grup tersebut acap muncul penerusan konten seputar kesehatan fisik maupun mental, dari diet diabetisi sampai mengatasi depresi.

Maka saya berpengandaian, di platform lain jarang muncul konten tentang brain rot dalam bahasa Indonesia. Saya berharap dugaan saya itu salah, antara lain karena saya tak berkecipak di Facebook.

Lantas adakah sisi jenaka dalam isu brain rot dan segala bahasan seputar internet maupun teknologi digital, termasuk AI? Tentu ada.

Segala info itu kalau ada di media cetak takkan banyak pembacanya. Itu ibarat penjelasan cara belajar renang di parkiran kolam. Di sisi lain, aneka tip berinternet sehat bagi anak akan lebih tepat jika muncul di media sosial. Itu serupa pembekalan dalam area waterboom. Namun jika pengunjung seperti cendol takkan efektif.

Salah satu isu brain rot adalah perkembangan anak dalam mengonsumsi konten daring, untuk usia 6—12 tahun, apalagi dengan durasi tatap layar sampai enam jam. Ada kembang contoh sumber pembusukan: konten receh.

Terhadap isu macam ini, saya menempatkan diri dalam empat hal:

  • Anak-anak saya sudah dewasa
  • Saya tak tahu batasan konten receh itu apa — jangan-jangan konten, yang kata teman saya yang tidak tajir adalah gojèg kéré, padahal kerap saya tonton, itu termasuk receh
  • Saya banyak melakukan aneka hal, termasuk ngeblog, dalam ponsel
  • Jarang sekali saya memeriksa screentime saya pada setiap layanan dalam ponsel melalui aplikasi Digital Wellbeing — supaya tak malu terhadap diri sendiri

Saya teringat sinisme abad lalu terhadap heavy viewers, mereka yang menghabiskan banyak waktu di depan TV, semuanya serba-sekilas tergantung kecepatan jari di atas remote controller.

Kognisi pecandu TV disindir tak sekaya pembaca buku dan koran maupun majalah, termasuk dalam kekayaan bahasa. Neil Postman mengejek kecanduan apa pun yang dikemas sebagai hiburan di TV sebagai Menghibur Diri Sampai Mati.

Dulu banyak yang bilang: tatkala TV menjadi benda kolektif dalam sebuah rumah tangga, kotak bergambar hidup itu adalah penghimpun keluarga. Ya, seperti dalam serial masa itu, The Cosby Show, tentang brayat Huxtable, yang diputar TVRI.

Dalam terminologi Barat masa lampau, TV menjadi pengganti pendiangan, tempat anggota keluarga berkumpul. Dalam latar Indonesia: TV tanpa langganan adalah medium gratis, murah, meriah, bermaslahat. Anggota keluarga bisa bersahutan mengomentari gaya pejabat maupun pesohor. Tetapi itu dulu.

Kemudian kemakmuran masyarakat kita bertambah. TV juga ada di kamar ayah bunda dan bahkan anak. Majalah remaja Hai medio 1990-an pernah memuat sejumlah cowok yang punya TV dan hi-fi di kamar, bukan stereo compo, ada yang memasang floor-standing speakers.

Kini teknologi digital menjadikan pemilikan peranti hiburan dan informasi semakin individual dan personal. Setiap alat dimiliki satu orang, konsumsi konten sesuai selera dan kepentingan. Memes orang memangku ember berondong di sofa, sambil nonton TV, dianggap jadul. Tetapi TV biasa masih berfungsi sebagai proyektor dari pengaliran video ponsel.

Dalam Transjakarta, KRL, LRT, dan MRT, earphones adalah hal lumrah. TV di apotek dan kafe tak ada yang menonton. TV di ruang antre pasien rumah sakit hanya untuk informasi layanan.

Masalah brain rot di Indonesia — Blogombal.com

Lalu? Sekali lagi saya tak paham neurosains, demikian pula dengan psikologi dan psikiatri — misalnya dijelaskan oleh Ryu Hasan pun saya cuma plonga-plongo. Saya tak dapat menduga arah batas cerna kapasitas otak homo sapiens. Mungkin kita harus menanya Yuval Noah Harari.

Namun saya kaget ketika pada masa pandemi lalu muncul isu speech delay di kalangan anak-anak. Isu tersebut kurang laku di grup WhatsApp yang saya ikuti. Lalu kini ada brain rot. Si buset busot.

4 Comments

Pemilik Blog Minggu 6 Juli 2025 ~ 18.56 Reply

Lagu wong lawas 🫣

Rudy Sabtu 5 Juli 2025 ~ 19.48 Reply

Agar jauh dari brain rot saya berusaha untuk baca buku (apa saja), menulis blog (lagi) dan membaca blog ini.

Pemilik Blog Minggu 6 Juli 2025 ~ 11.04 Reply

Halo Rud.
Mari merawat kesadaran dan kewarasan sebisanya 😂

Tinggalkan Balasan