Tadi malam saya ditraktir soto ayam. Saya memperhatikan, ada meja di depan kedai berisi jejeran nomor meja dan baki berisi nota pemesanan. Saya sering ke situ namun belum pernah berurusan dengan nomor. Saya lebih suka langsung duduk dan memesan. Apa menariknya nomor meja?
Bagi saya, nomor meja menarik karena merupakan bagian dari manajemen pelayanan. Ada kedai yang memiliki nomor tetap, kalau ada pengudap pindah meja, nomornya berganti. Kedai punya cara untuk mengatasi hal itu di meja kasir.
Dalam nomor meja tetap, ada kedai yang melibatkan komputer layar sentuh untuk mencatat pemesanan serta perhitungan di kasir. Dalam layar tertampak denah posisi meja. Kasir warung angkringan di Jatiwarna, Kobek, Jabar, menggunakan tablet untuk urusan itu.
Ada pula yang menerapkan nomor meja tak berpindah. Manakah dari dua cara, nomor tetap tetap dan nomor pindah, yang efektif? Kedai lebih paham.
Bagi saya lebih penting pelayanan sejak pemesanan, waktu tunggu, hingga pembayaran tanpa sulap angka. Saya paling suka kalau pramusaji bilang butuh waktu sajian menit sampai pesanan terhidang.
Koordinasi penerima pesanan dengan dapur bukanlah hal mudah. Saya sekeluarga pernah mengalami di Bogor, 2007. Setelah seperempat jam memesan, datanglah pramusaji, memberitahu pesanan kami sudah habis.
Karena sudah lapar, saya bilang apa saja yang masih ada sebagai pengganti. Sepuluh menit kemudian pramusaji mengabari bahwa nasi habis. Lalu pesanan pengganti bagaimana? Dia bilang akan mengecek di dapur.
Malam kian kelam, banyak kedai sudah tutup. Kami langsung cabut setelah saya berceramah, “Kalo nggak niat, nggak usah buka warung.”
Kalau saya orang Medan pasti mengatakan, “Aku tandai kau!”
