Tutup got mléyot salah siapa?

Jangan langsung mengambinghitamkan bengkel las lho...

▒ Lama baca < 1 menit

Titip got mléyot di Pasar Kecapi, Jatiwarna, Pondokmelati, Kobek, Jabar — Blogombal.com

Pemandangan macam ini lumrah. Ada di mana-mana. Kenapa tutup got sampai mléyot atau melengkung itu jelas karena keberatan beban.

Lalu siapa yang salah, tukang las? Mereka bekerja sesuai spesifikasi dari pemesan. Memang tukang las semprul sontoloyo pasti ada. Saya pernah memesan rak dengan pipa hollow 4×4 cm ternyata diganti 3,5×3,5 cm. Hollow banci.

Pernah, pemborong rumah saya harus membobok tembok beton karena rentang pintu gerbang lebih lebar 4 cm. Yah, anggap saja mereka itu bercita-cita menjadi pembawa sial bagi sesama. Bukankah kehidupan ini saling melengkapi?

Untuk kasus got, saya membela tukang las yang berprinsip situ maunya bikin apa, ada uang berapa? Sebagian pengusaha katering juga begitu. Eh, semua penyedia jasa ding, termasuk desainer grafis merangkap penulis wara (copywriter) — sebelum dibantu AI. Serupa dagelan usang tukang becak: penumpang bayar murah kok mau selamat.

Lalu siapa pemesan tutup got? Saya tak mencari tahu, apakah pemilik properti atau pemkot. Namun harap diingat, got ini di area pasar. Jalan di sana ramai. Ada got yang ditutup lempeng beton pracetak, ada yang beton tutupnya harus dibobok. Setahu saya Kementerian PU punya pedoman baku macam-macam prasarana fisik.

Bagi saya, cara setiap pemkot menangani got, termasuk tutup got hingga perawatan drainase, mencerminkan cara berpikir birokrat. Kepala daerah boleh genah dan peduli soal ginian, tetapi mereka paling lama cuma sepuluh tahun. Birokratnya bertahan sejak belia sampai pensiun. Apalagi kalau kepala daerahnya hanya bisa marah-marah dan kasih perintah namun lupa mengawasi eksekusi, lantas apa hasilnya?

Pekerjaan wali kota dan bupati itu banyak, kan? Pasti. Maka harus ada birokrasi pendukung. “Lha tapi ngurusi wilayah luas dan birokrasi tambun itu sulit, Bung,” kira-kira demikian dalih Pak Bos.

Maka jawaban kita adalah, “Lha kenapa sampean dulu ikut pilkada?”

Kalau mereka berjiwa ngèyèl bin sulaya, ada kemungkinan menjawab, “Lha kenapa situ dulu milih saya?”

Kalau Anda dulu memilih paslon lain dan ternyata kalah, tak usah Anda nyatakan. Bakal panjang perdebatannya. Padahal seorang ketua RT sampai presiden (dan wakilnya) setelah terpilih tidak hanya wajib melayani pemilihnya karena dia milik semua warga — termasuk yang golput.

Masalah drainase di Indonesia — Blogombal.com

2 Comments

Ndik Minggu 8 Juni 2025 ~ 16.21 Reply

Pokok masalah kota itu tak jauh2 Dari logistic, drainage Dan sampah, problem Ini lintas sectoral Dan hebatnya Masing2 sektor punya ego Masing2 yg berbasis ada 2 hal yg mutlak jarang bisa bersalaman, teknis Dan economic.

Politic itu goodwill, masalahnya Kita banyak lupa akan berapa hal terkait benefit Dari sebuah kegiatan. Benefit financial Dan benefit social. 2 jenis Ini jarang juga bisa bersalaman. Kalau dipaksakan akan ada pihak yg kecewa.

Kecewa itu keniscayaan. Ini seperti njenengan bicara tentang hujan, petani mungkin bersorak kegirangan, tetapi pengerajin batu Bata akan berbicara lain.

Sudah hal yg umum merawat itu bukan sesuatu yg mudah, pola kinerja untuk merawat itu terkadang tidak semudah itu, nggudangkan barang, double pengadaan, pertanggungjawaban pembuat atau statement atas kerusakan, dsb. ribet.

Seperti lagunya the Beatles, let it be
Nanti akan ada komunitas yg mungkin peduli, Barulah tergopoh2 berebut panggung. Template yg wajar.

Apa yg bisa Kita lakukan, sebagai manusia apolitis, Dari diri Kita sendiri saja, beberapa penny untuk membantu menjaga depan Rumah, tempat usaha atau lingkungan Kita saja. Itu sudah Sangat membantu

Kalau ada yg suka dengan buah tangan Kita merawat lingkungan ya sifat apolitis berubah Jadi oportunis juga gapapa. let it be

Pemilik Blog Minggu 8 Juni 2025 ~ 20.23 Reply

Begitulah, Nda Ndik! 👍👏

Tinggalkan Balasan