
Ada dua hal menarik dari papan tulis putih yang biasa disebut “wetbor” ini. Pertama: harga telur — kalau tanpa imbuhan “ayam” berarti bukan telur puyuh maupun telur bebek. Saya baru tahu bahwa telur retak masih bisa dijual. Saya membayangkan, pembelinya adalah kalangan yang harus memanfaatkan telur dalam segera. Misalnya warung makan dan pembuat kue.
Kedua: papan peraga yang disebut “displé” ini diisi secara manual dengan spidol untuk papan tulis. Pilihan cara ini lebih murah dan masuk akal. Harga mingguan telur itu fluktuatif. Maka perubahan harga cukup dilakukan dengan menghapus lalu menerakan angka baru.
Memasang harga dengan papan LED itu mahal, tetapi dengan blangko ala pemampang digital lebih murah. Kalau setiap kali memasang kertas harga juga merepotkan. Dulu kios telur di area saya melakukannya dengan mengganti kertas yang ditulisi pakai spidol.
Selalu ada hal menarik dalam ekonomi rakyat yang kadang terlewat dari amatan kita, padahal kita juga rakyat. Kalau anggota DPR? Itu wakil rakyat, lebih rendah daripada kita. Wajar kalau mereka kurang paham soal beginian.