Sudah hampir setengah tahun saya tak melintasi jalan itu. Tadi pagi saya melihat sebuah rumah di situ dijual. Toyota hardtop-nya, mungkin J40, juga dijual. Seingat saya rumah dengan desain bagus, tak tampak tembok menempel rumah tetangga, itu dulu tak dipasangi tulisan dijual. Atau mungkin saya kurang memperhatikan?
Menilik spanduk itu sudah memudar, mungkin sudah lama terpasang. Tetapi bisa juga karena rumah menghadap ke timur, maka spanduk selalu disapa matahari sejak pagi sampai siang, sehingga lebih lekas memudar.
Kesan saya dulu, ketika agak sering lewat sana, bukan dalam kompleks melainkan dalam kampung, rumah itu selalu tampak lengang. Mungkin penghuninya bekerja dan bersekolah. Bukankah rumah sepi belum tentu tak berpenghuni?
Juga masih kesan saya, tepatnya dugaan saya, bagian dalam rumah ini terang, karena ada lubang cahaya di atas. Namun karena menghadap ke timur, misalnya memakai kaca biasa, dan di dalam tak ada lubang buang udara panas yang memadai, di dalam tentu kurang sejuk.
Tetapi misalnya desain rumah sama, padahal menghadap ke barat, tentu berpeluang akan lebih panas. Ah, itu hanya dugaan sok tahu. Maaf. Semoga saya salah. Tetapi lebih penting ini: semoga rumah lekas laku. Rumah terlalu lama tak direksa itu lekas rusak. Eman.
Lalu kenapa nomor telepon dalam spanduk tak saya sarukan? Itu iklan. Kalau pelat nomor kendaraan pribadi, meskipun di tempat umum, tidak mudah saya publikasikan — Google Street View juga melakukan hal serupa. Demikian pula wajah orang tanpa izin, tak mudah saya muat karena ini blog personal, bukan situs berita.
2 Comments
Tetangga saya juga menjual rumah termasuk mobil untuk modal membangun tempat usaha yang menjanjikan.
Setelah laku dan ganti pemilik, setiap kali mobil tetangga tersebut pulang maka ingatan kolektif kami serumah masih berharap pemilik lama yang keluar dari mobil tersebut.
Di tangan seorang cerpenis, kisah ini bisa dikemas menarik 😇