Di mana haltenya? Selatan jalan!

Jadi olok-olok: di Jogja nama mata angin itu penting bagi wong asli.

▒ Lama baca < 1 menit

Posisi halte Transjogja di selatan jalan depan LPP — Blogombal.com

Mata angin. Justru setelah ada Google Maps mestinya bukan masalah, dalam arti bisa kita abaikan. Yang penting depan, belakang, lurus, kanan, dan kiri.

Maka poster informasi Transjogja di halte depan LPP, Jalan Urip Sumoharjo (dulu: Jalan Solo), seberang Bank Danamon, itu melengkapi memes tentang mata angin di Jogja.

Pernah ada video, pemotor berboncengan dari luar Jogja menanyakan sebuah tempat. Jawaban warga lokal kira-kira ke utara, lalu ke timur, belok ke selatan, lalu ke barat, ke selatan, dan seterusnya…

Posisi halte Transjogja di selatan jalan depan LPP — Blogombal.com

Di Jabodetabek setahu saya jarang orang memberi ancar-ancar mata angin. Di Jakarta, saya pun kehilangan orientasi.

Dulu, abad lalu, dagelan lawas di Jogja adalah gambar kompas dalam peta. Keempat arah bertanda N: ngalor, ngétan, ngidul, ngulon. Bahkan draf gambar rencana tapak bangunan mahasiswa arsitektur ada yang begitu. Mungkin dia kaum pemakai kaus “arsitek tur UGM”. Ada spasi sebelum suku kata “tur”.

Sampai kini masih ada papan nama toko yang mencantumkan posisi dari sisi mata angin. Misalnya “selatan Pasar Demangan”. Iklan di radio Jogja masih sering menyebutkan mata angin dalam memandu lokasi toko dan penyedia jasa.

Di tempat kerja terdahulu, ada banyak sejawat asal DIY dalam markas grup perusahaan. Pertanyaan mereka soal pulkam sama: “Ora ngétan, Mas?” Artinya, “Nggak ke timur, Mas?”

Di Jakarta, sebutan “selatan style” dan “anak selatan” punya konotasi positif. Lebih keren, lebih berselera, lebih kekinian. Padahal kawasan yang dimaksud kadang belum tentu di Jaksel melainkan cenderung ke barat daya, ikut Banten.

Di Salatiga, Jateng, waktu saya bocah, orang-orang dari Klaseman dan Dukuh, di sebelah barat kampung saya, kalau akan ke pecinan di Jalan Solo (Jalan Sudirman), dan ditanya orang, menjawab, “Arep ngétan.”

Ibu saya, orang Jogja, kalau tahu saya akan ke rumah pacar selalu menanya, “Arep ngidul?” Tetapi keluarga pacar saya tidak menyebut rumah kami itu lor. Mereka menyebut pergi ke pecinan itu mudhun (turun), karena secara topografis lokasi rumahnya lebih tinggi. Mudhun cocok dengan sebutan oleh bule untuk kota lama: downtown.

Adapun istilah pecinan jarang diucapkan oleh orang Salatiga. Bapak saya yang orang Jogja menyebut kawasan pertokoan di pusat kota itu pecinan. Ada yang menganggap istilahnya itu cenderung rasis, tetapi tidak untuk Chinatown.

2 Comments

Junianto Selasa 3 Juni 2025 ~ 23.22 Reply

Di keluarga saya, dan para karyawan warung makan istri saya, ngetan berarti ke rumah kami yang berada di kampung sebelah timur warung (omah etan), dan ngulon berarti ke rumah kami yang berada di kampung sebelah barat (kulon) warung.

Pemilik Blog Rabu 4 Juni 2025 ~ 10.16 Reply

Nah! Orang Jakarta yang punya dua rumah dalam satu area tidak punya sebutan macam itu 😂

Tinggalkan Balasan