Nama es krim yang menakutkan, dan ingatan kepada kawan

Kadung menancap dalam memori bahwa frost bite adalah maut.

▒ Lama baca < 1 menit

Es krim Frost Bite dari Campina di Indomaret — Blogombal.com

Membaca stiker promosi pada kotak es krim ini, ingatan buruk saya muncul. Frost bite. Saya belum pernah mengalami. Masuk ke dalam cold storage untuk latihan aklimatisasi juga belum pernah dan tak ingin karena tidak berkepentingan.

Frost bite adalah maut. Hanya itu makna yang mendekam dalam benak saya — padahal belum tentu (¬ lihat Alodokter). Teman sejawat saya, Didiek Samsu, meninggal setelah terserang frost bite, di Gunung Aconcagua, perbatasan Argentina—Chile, 1992. Bersama Didiek meninggal pula Norman Edwin. Mereka bagian dari rombongan Mapala UI.

Saya hanya sebentar, dua tahun, bersejawat dengan Didiek karena usianya pendek, mungkin lebih pendek dengan semua rencana penjelajahannya.

Ada saja kenangan tentang Didiek. Suatu kali dia menyetir dari Grogol ke Jalan Gajah Mada, lalu mobil tuanya mogok, dan dia heran, “Kita ini di mana? Gua bingung.”

Saya tertawa, “Kamu masuk rimba nggak nyasar, ini kamu anak Jakarta malah bingung dalam kota.” Dia mengumpat lalu terbahak-bahak.

Lain waktu, malam hari, mobil tuanya mengeluarkan api saat kami naiki, di Jalan S. Parman, dekat simpang Tomang. Kami panik, sebisanya memadamkan api. Saya masuk ke halaman sebuah rumah, akan menarik selang taman — ini juga belum tentu cara yang benar.

Mendadak datanglah seorang pria, berjalan kaki dengan sandals kulit, yang memotong ranting tanaman pagar rumah itu, lalu memukulkannya ke mesin yang menyala. Api pun padam. Pria itu tak berbicara. Langsung berlalu. Kami hanya dapat berterima kasih berkali-kali, melihat punggungnya yang berjaket trucker itu menjauh.

“Itu orang kayak pendekar tak bernama, datang, bertindak, nggak bicara. Kagum banget gua,” kata Didiek kepada sejawat lain di kantor.

Dua minggu mobil hampir terbakar, Didiek ke Salatiga, Jateng, menghadiri pernikahan saya, 1991. Pagi tiba bersama rombongan, menjelang siang dia sendirian ke pasar, ke sebuah toko buku: mencari peta kota. Tentu tidak ada untuk kota sekecil itu, pada dahulu kala.

“Gua tuh terbiasa ama peta. Kalo ada di kota mana aja, gua harus liat petanya,” katanya.

Tinggalkan Balasan