—
Nice Creativity
📹haremscouture pic.twitter.com/HNdKrKOMZm
— Yogesh Kumar (@YKwolfpec) June 1, 2025
Saya tergeli hati melihat wadah tisu ini. Nakal. Lucu. Karena bergaya vintage. Misalnya saya punya anak lelaki menjelang akil balig, dan dia punya bolpoin seperti teman SD dan SMP dulu bagaimana? Mungkin saya biarkan sambil tertawa. Di lokapasar Indonesia saya pernah melihat namun kini tak ada lagi. Tapi, eh, sekarang kan ada internet? Oh.
Waktu saya bocah, di sekolah ada teman membawa bolpoin dengan dekorasi pin-up girl, tak sampai nude, hanya dari bergaun menjadi pakai bustier dan garter belt. Anak sekelas gempar. Cowok-cowok cekikikan. Bergantian kami menjungkir bolpoin untuk melihat stripper beraksi. Cewek-cewek bilang itu jorok, ora elok. Saya lupa apakah akhirnya guru tahu. Di SMP, kelas satu, hal itu terulang.
Erotika adalah bagian dari perjalanan seksualitas anak-anak. Saya dulu biasa saja, punya tetangga Nyonya Jerman, usia 30-an, yang selalu berjemur pakai bikini di samping rumah. Ibu saya geli ketika memergoki teman-teman SD saya berdiri di panjatan garasi kami untuk menonton landa wuda. Di majalah luar negeri kami juga banyak gambar fesyen dan liburan orang berbikini.
Ketika saya kelas tiga SD merasa membuat karya nyeni, hasil tracing atau ngeblad pakai karbon ke dari gambar model di majalah fotografi Bapak di buku gambar saya yang berbahan HVS, bukan kertas Padalarang. Mbakyu saya menemukan buku itu, dan melapor kepada Ibu.
Saya dipanggil. Tenang saja saya ketika mereka tunjukkan karya itu. Mbakyu dan Ibu tertawa geli. “Karepmu apa to? Piyé yèn gurumu pirsa?” tanya Ibu.
Beberapa gambar dalam buku saya adalah hasil karbon foto nude hitam putih, banyak yang separuh subjek gelap, atau siluet, di majalah Bapak. Bagi saya waktu itu, hal macam itu seperti saat saya dan teman lain ngeblad gambar wayang perempuan yang cuma berjarik dan berkemban yang kami atur sedang berperang kata dengan wayang pria, tanpa romansa.
¬ Foto: Etsy dan WorthPoint