Dalam ponsel saya terselip jepretan Kamis 8 Mei 2025 di lampu bangjo Jalan Munggur, Demangan Kidul, Yogyakarta. Poster konser Land of Koplo. Kabarnya subgenre paling laku saat ini adalah dangdut koplo.
Istilah dangdut koplo muncul menyusul istilah pil koplo, sebutan untuk psikotropika. Adapun koplo, dari bahasa Jawa, berarti dungu dan gendeng.
Apakah koplo bersepupu dengan pekok, saya tidak tahu karena bahasa Jawa punya sekian istilah untuk kesehatan mental dan tingkat inteligensi — hampir semuanya peyoratif jika dialamatkan pada orang lain.
Lantas apakah istilah dangdut koplo merupakan ejekan pihak lain yang diafirmasi oleh penggemarnya, atau malah merupakan sebuah deklarasi untuk mengejek kaum lain, dalam bahasa Jawa adalah nglulu, sila baca sejumlah rujukan, antara lain Dangdut Studies.
Saya mengenal dangdut koplo awal 2000-an dari VCD sejawat, serta MP3 di komputernya yang diputar di kantor. Kemudian di kaki lima Salatiga, Jateng, banyak penjaja VCD bajakan konser dangdut koplo.
Di rumah kakak ipar juga ada banyak VCD itu lalu saya coba memutar. Namun hingga kini saya tak mengikuti perjalanan dangdut koplo sebagai karya maupun subkultur — bahkan mungkin kontrakultur. Saya kurang paham.
Dalam dunia koplo, istilah bajakan mungkin membingungkan karena tak membuat pemilik hak cipta tak berkeberatan, bahkan senang. Biarlah orang lain yang menggandakan video resmi dan beroleh manfaat ekonomis, sementara artisnya kian tenar. Tak perlu keluar biaya promosi, namun ekosistem telah terbangun.

2 Comments
Pasar musik, apalagi tontonannya, memang untuk anak muda. Konser adalah ritual sosial. Bagaimana pun musik live berbeda dari rekaman. Ada atmosfer yang berbeda, ada energi yang menular dan terhimpun 😇
bulan lalu nyempatin nonton konser N.D.X di Sentul. dan sadar jadi yang paling berumur :))
pertama kali dengar duo ini di medio awal 201x-an. Dari radio Wijaya FM Surabaya dan Suara Giri FM Gresik. Dan setelahnya merasa cocok… Sampai sekarang.