Kalau kantor media tutup, apanya yang semoga selamat?

Kalau buku perpustakaan, relakan saja. Kalau arsip foto janganlah.

▒ Lama baca 2 menit

Bagaimana nasib arsip foto media yang bangkrut dan tutup? — Blogombal.com

Terkabarkan, gedung kantor penerbit dan redaksi Gatra, di Kalibata, Jaksel, dijual berikut aset di dalamnya. Pemilik menawarkan harga Rp65 miliar. Di dalamnya termasuk peralatan kantor (¬ Harian Kami).

Gatra terbit pada 1994 setelah Tempo, Detik, dan Editor dibredel Orde Baru. Gatra didirikan oleh orang-orang eks-Tempo dengan pro-kontra dalam masyarakat karena dianggap berkompromi dengan pemerintah.

Rencana eks-awak Tempo mendirikan Gatra diumumkan kepada media lain di restoran Pulau Dua, Senayan. Fotografer dan editor senior Ed Zoelverdi menjadi juru bicara, menekankan bahwa proses pembentukan majalah ini melalui proses demokratis.

Pada mulanya sejumlah cendekiawan kolumnis memboikot Gatra, tak mau menulis maupun menjadi narasumber peliputan. Gatra tetap melaju, dan ketika majalah Tempo terbit kembali Oktober 1998, setelah reformasi, kedua majalah itu pun bersaing.

Tanggal 17 Juli 2024, grup Gatra mengumumkan akan tutup pada 31 Juli karena kesulitan finansial, termasuk akibat Covid-19 (¬ Tempo.co, 25/7/2024). Di dalam grup tersebut ada Gatra.com, Majalah Gatra Jateng, Gatrapedia.com, dan kanal Gatra TV.

Bagaimana nasib arsip foto media yang bangkrut dan tutup? — Blogombal.com
ARSIP | Majalah Gatra edisi terakhir, 24 Juli 2024, di Tokopedia.

Itu tadi latar belakangnya. Lalu? Gatra adalah media yang terbit medio 1990-an, artinya mengalami masa awal internet. Saya andaikan, sebagai media era lama Gatra memiliki perpustakaan dengan banyak buku dan banyak koran serta majalah luar negeri dan arsip foto.

Itu tadi pengandaian. Bagi saya, media apa pun, pada era lawas, yang genah harus punya perpustakaan yang antara lain berisi Encyclopedia Britannica dengan pemutakhiran tahunannya, kalau dijejerkan bisa semeter lebih, dan Ensiklopedia Nasional Indonesia serta pelbagai rujukan baku karena belum ada internet. Termasuk di dalamnya adalah buku atlas Hammond atau Philip’s. Untuk katalog film, karena belum hadir IMBD dan AFI daring, ada yang terbit setiap tahun, setidaknya versi Leonard Maltin.

Tentu, tak semua media dapat menyamai perpustakaan Kompas saat itu. Di sana sangat lengkap. Untuk menulis soal militer dan persenjataan ada banyak rujukan mutakhir, antara lain Jane’s. Ah, sudahlah. Itu dunia kertas. Syukur kalau akhirnya jatuh ke lapak buku bekas.

Ada yang lebih penting daripada buku kertas yakni arsip foto. Ya, arsip dalam arti koleksinya terkelola, tak hanya ada film dan contact print untuk hasil fotografi analog, tetapi juga anotasi lengkap yang tersimpan dalam pangkalan data. Kalau semua produk fotografi analog sudah didigitalisasi tentu lebih bagus.

Arsip foto media sangat berharga, apalagi dari masa lalu yang belum ada internet dan media sosial. Dulu tak semua pejabat dan pengusaha mudah difoto, apalagi secara portraiture, sementara humas mereka belum mengenal media sosial seperti sekarang. Kini semua pihak bisa memublikasikan diri secara visual. Contoh aktual adalah Gubernur Jabar Dedi Mulyadi.

Media pada masa pra-internet dapat memiliki foto yang bagus dari pejabat tinggi, konglomerat, sampai musisi dan aktor aktris. Pun jangan lupa: foto bencana, kerusuhan, dan perang. Dan tentu juga ini: foto gaya hidup pada suatu masa. Setelah media bangkrut, ke mana khazanah foto itu?

Apakah film negatif, slides, contact print, dan foto cetakan dibiarkan dimakan jamur? Jika semua foto tinggalan itu ada dalam server, bagaimana nasibnya?

Foto-foto dari media belum tentu ada dalam koleksi pemotretnya karena secara hukum dan kelaziman semua foto penugasan adalah milik penerbit.

2 Comments

mpokb Minggu 25 Mei 2025 ~ 12.34 Reply

Dulu kantor saya menyediakan Encyclopedia Britannica dan Americana, karena belum semua komputer bisa untuk berselancar ke Wikipedia/Google. Mungkin sampai sekarang masih ditumpuk saja di lemari di ruang ber-AC, nyaris sebagai artefak. Eman juga ya..

Pemilik Blog Minggu 25 Mei 2025 ~ 14.13 Reply

Yah gimana lagi.
Saya dulu karena gak mau korupsi, semua buku penting saya serahkan ke kantor padahal saya tahu cuma bakal masuk gudang atau bakal disikat siapa. Salah satunya buku karya seorang fotografer yang cuma dicetak terbatas, biayanya mahal, motret di antara lain Papua, untung dia ditaja sebuah MNC.

Tinggalkan Balasan