Teman saya pernah malu karena kelepasan menyebut “kerupuk blèk” untuk kerupuk kaleng, padahal dia berbicara dengan pemilik warung, wong Jawa. Teman-teman lain mentertawakannya karena kerupuk blèk itu Jawa banget dan jadul banget. Generasi Z Jawa lebih mengenal kerupuk kaleng. Mungkin kerupuk blèk dianggap sejenis kerupuk black.
Pada sebuah warung soto, di ruko di Pondok Gede Asri, Kobek, Jabar, krupuk blèk masih disebut, disertai garis miring dan kata “kaleng”. Orang Jawa lama memang menyebut kaleng itu blèk. Di KBBI ada lema blek, menyerap dari bahasa Jawa. Namun di Bausastra W.J.S. Poerwadarminta tak ada blèk.
Saya tak tahu dari mana asal kata blèk. Yang pasti tak ada hubungannya dengan bleketépé, anyaman bambu untuk penghias atap darurat (tarub; KBBI: tarup, kajang, pelampang) saat sebuah keluarga menikahkan anak.
Orang Jawa yang segenerasi dengan saya, apalagi yang bermukim di luar Jateng, DIY, dan Jatim, tampaknya juga jarang menyebut blèk. Kaleng lebih populer. Lalu warung soto menyematkan kata arkais itu. Selain kerupuk, ada pula roti blèk dan blèk roti, atau biskuit kaleng dan kaleng biskuit.
¬ Pemutakhiran, Ahad (25/5/2025): Bausastra Poerwadarminta memuat “blèg”. Terima kasih untuk koreksi dari Mas Badu.
9 Comments
Dulu ada salah satu simbah (mertua dari paklik) yang saya ingat sering bikin bleketépé, pun ketika tidak ada acara hajatan.
Di rumah simbah tersebut bleketépé biasanya digunakan sebagai alas duduk saat ngaso sore hari, sebagai pengganti tikar.
Betul! Untuk pengganti tikar.
Saat tikar plastik belum lumrah, saya mengamankan itu di desa, buat jagongan malam nungguin orang merajang tembakau. Ada kêplèk dengan totohan juga
Black metal itu genre musik. Kalau blèk metal, redundant :)))
Wah hanya orang Jawa modern yang pajak ini 👍😂
Di kamus Baoesastra Djawa (Poerwadarminta, 1939) ada kok Mas, diejanya “blèg”. Diartikan sebagai 1) blebekan wêsi tipis, 2) wadhah lênga.
Saya menduga itu serapan dari bahasa Belanda, “blikje”, yg berarti tin can.
Krupuk aci penghuni blek di warung2 sepertinya lebih banyak yg berwarna putih ketimbang kuning ya?
Oh suwun, ya ampun saya lupa bahasa Jawa baku membedakan bunyi penutup “g” dan “k”, sehingga ada “grobag”, bukan “grobak”.
Bunyi penutup “g” lebih dalam daripada “k”, tak seperti dalam dialek Banyumas atau Tegal yang membunyikan pangkon “k” sebagai “g”.
Kenapa saya lupa ya? Pada hal permai membuat pos soal “ojeg” dan “ojek”.
Iya ya, dari blikje. Duh 🙈
Iya ya kenapa dominan yang putih? Bingung saya
Mungkin lebih irit, nggak perlu pewarna :p