Loper koran adalah bagian dari ekosistem media cetak, bisnis yang tak hanya muram namun juga melesu dan sekarat. Namun Mas Arip, usianya belum 40, dulu loper dari agen untuk pelanggan, akhirnya bertahan sebagai pengecer koran. Dia tetap beredar.
Mas Arip selalu mengenakan rompi biru lusuh berhias logo pudar sejumlah media produk Kompas Gramedia. Sebagian besar media itu kini tak lagi punya versi cetak.
Salah satu pelanggan eceran adalah ibu saya (92) di Yogyakarta, sudah sekitar sepuluh tahun ini sejak Mas Arip menggantikan kakaknya. Ibu memilih eceran, setiap pagi membayar koran Kedaulatan Rakyat seharga Rp4.000, karena dengan itulah Ibu punya tambahan kesempatan berinteraksi dengan orang lain.
Ada kalanya Ibu tak bertatap muka dengan Mas Arip karena Ibu sedang repot di dalam rumah. Uang koran cukup Ibu taruh di bibir jendela setiap pagi. Lalu loper menaruh koran di buk teras.
Mulanya Ibu menaruh uang koran di buk, menindihnya dengan batu kecil. Namun akhirnya Ibu memilih jendela, menindih uang dengan hak pengait. Kenapa?
Dengan tertawa Ibu katakan, “Uangnya sering jatuh lalu hilang soalnya batu itu dipakai mainan anak-anak.” Bocah yang dia maksudkan adalah anak-anak tetamu.
Pagi tadi, pukul tujuh, Mas Arip tak hanya membawakan koran. Dia juga membawa obat titipan Ibu, karena dua hari lalu ada yang terlupa saat kami ke apotek.
Dari loper itu Ibu tak hanya memperoleh koran karena pulsa, paket kuota, perbaikan kecil masalah ponsel, sampai mengirimkan paket ke agen, juga dia lakukan. Ternyata tak hanya Ibu yang sering minta tolong.
Mas Loper ini mengenal semua pelanggan eceran di kampung kami dan pedagang Pasar Demangan dekat rumah. Suatu pagi dia mendapati Ibu lemas dan berkeringat dingin di ruang tamu, namun masih kuat berpesan untuk dipanggilkan suami istri keponakan almarhum Bapak, dekat rumah. Loper itu segera bergegas memberi tahu.
Hubungan Ibu dan loper itu dekat. Kadang Ibu menitipkan makanan untuk anak-anak Mas Arip, “Titip kanggo putuku.” Titip untuk cucuku. Padahal Ibu belum pernah bertemu anak-anak itu.
Mas Arip tidak tinggal di kampung kami, di sisi utara kota, berbatasan dengan Kabupaten Sleman, melainkan di Kotagede, bagian selatan dari Kota Yogyakarta. Seusai menjual koran dia pulang, mengurusi anak dan rumah, sementara istrinya bekerja.
Sore setelah istrinya pulang, Mas Arip menarik ojek daring. Sampai malam. Kelak setelah koran tak terbit, saya tak tahu dia akan mencari nafkah dari apa selain dari ojek. Saya belum mencari tahu apakah jumlah pelanggannya terus menyusut.
Matur suwun, Mas.
2 Comments
Sebelum puasa kemarin nyoba langganan Kompas Cetak lagi. Beneran datang tapi kurang pagi. Agennya njanjikan sebelum jam 7. Benar kejadian sebelum 7 nyampai, tapi tetep berasa kurang pagi. Standarnya pake jaman dulu di Sidoarjo. 5.30 udah ada di carport.
Karena Agen ndak bisa janjikan lebih pagi, jadinya hanya bertahan sebulan.
2 minggu ini mulai lagi, tapi ke tabloid dan majalah mingguan saja, yang harian di henpon saja. Jadi praktis ada 3 majalah mingguan, 1 majalah bulanan, dan 1 tabloid meramaikan teras rumah sekarang.
Wah mewah nian untuk masa sekarang 👍💐
Ya, edisi cetak sudah terlalu siang datangnya. Mestinya pukul 6 itu paling telat ya