Pagi menjelang siang, lorong di Stasiun Gambir, Jakpus, itu tak ramai. Tidak banyak orang berlalu lalang. Saat itu saya lihat seorang perempuan berseragam pramusaji menyeruakkan diri ke dalam ceruk pertemuan pilar dan tembok, memunggungi lalu lintas orang.
Sekira lima menit kemudian, ketika saya lewat sana lagi, si Mbak masih dalam posisi yang sama. Apakah dia menangis? Saya tak tahu, karena orang dapat menangis tanpa bahunya terguncang-guncang.
Oh, barangkali dia sedang menelepon? Bisa saja. Memang sih posisi salah satu tangan tak menunjukkan dia sedang menempelkan ponsel pada telinganya.
Saya melancangkan diri mendekat. Saya dengar dia sedang berbicara. Mungkin ponsel dia pegang di dada atau perut. Atau dia sekalian memanfaatkan earphone namun tertutup rambut.
Posisi memasukkan diri ke ceruk dinding itu, saya duga, untuk mengurangi kebisingan sehingga percakapan via telepon tak terganggu.
Tiba-tiba saya malu terhadap diri sendiri: kenapa saya kepo, sok peduli? Tak mungkin dia sedang melakukan hal yang membahayakan dirinya sendiri, karena di situ selain banyak orang juga ada kamera CCTV dan satpam.
Kemudian saya mendapatkan pembenaran diri, sekalian menghibur diri, bukankah peduli itu hal yang bagus asalkan empan papan, mengenal batas kepatutan? Hmmm… namun masalahnya, ukuran asalkan mengenal batas itu tak jelas. Beda orang beda ukuran.
Di rumah, istri saya lebih lekas bereaksi jika mendengar suara anak kecil menangis keras di jalan maupun rumah tetangga, “Siapa itu yang nangis? Kayaknya bukan si anu…”
Jika suara tangis itu dari jalan depan rumah, istri saya keluar, mencari tahu. Saya tak sereaktif itu.
Sekira tiga tahun lalu di RW saya polisi segera datang karena siang itu warga melaporkan kekerasan terhadap seorang anak oleh salah satu orangtuanya. Kekerasan bernama penganiayaan itu jauh melampaui toleransi tetangga. Kabarnya kali itu melebihi hari-hari lain.