Pohon nangka itu menjadi penyangga atap kedai kopi, dikelilingi meja dan kursi. Dia sendirian, kesepian, tampak tak dipedulikan.
Pohon itu sedang berbuah, masih mentah. Ada yang menempel rendah pada batang dekat meja saya. Ada yang menempel pada atap. Semuanya delapan sampai sepuluh buah.
Ini pasti bukan pohon nangka tak bertuan maupun tak bernyonya. Dia tumbuh di pelataran Stasiun Gambir, Jakpus. Ada yang sengaja menanamnya, dan pohon itu terinventarisasikan oleh Pemprov DKI Jakarta pada 2014.
Saya bertanya kepada Mbak Pramusaji, siapa yang akan yang memanen nangka setelah matang. Dia jawab, “Nggak diurusin, Pak. Dibiarin aja.”
“Dibiarin sampe busuk?” saya bertanya. Dia tertawa, “Kayaknya.”
Oh, jangan-jangan ini pohon nangka yang selalu gagal menghasilkan buah matang. Terapi masa sih tak ada yang memetik buah mentah?
4 Comments
Pidihil buah nangka sekarang sedang mihil harganya. Terakhir beli sekitar sepekan lalu, di Pasar Gede Solo, Rp 80.000/kg (biasanya di bawah Rp 50.000).
Sudah lama saya tak membeli nangka ke Pasar Legi, dan saat membeli terakhir itu dapat bonus kabar duka : menantu ibu tua penjual nangka, Mas Kuri, meninggal karena sakit sekitar dua pekan sebelumnya. Dulu Mas Kuri sering mengantar nangka ke warunv makan istri saya….
Saya sih nggak percaya kalo dibiarin. Lha petugas kebersihan taman kan tahu, bisa metik buat sendiri maupun dikasihkan orang?
Hari gini belanja sayur mahal lho
Bisa dicek ke warung padang atau gudeg terdekat 😆
Ya, betooolll sekali Mbak! 😂