Setahu saya, tukang rujak menggunakan ulekan atau muntu dari kayu. Apa kayunya, saya tidak tahu. Apalagi setelah tua, rujak serut saya dapatkan dari layanan pesan antar via ponsel. Baper, kata orang — artinya bawa pergi.
Saat mengantre, beli sendiri, untuk baper juga, saya memperhatikan dari luar kaca gerobak rujak. Ternyata ulekan kayunya besar. Satu lagi: lempengan serok rujak dari robekan baskom plastik. Kreatif dan hemat.
Saya bertanya, itu dari kayu apa. Penjual rujak yang disebut tukang rujak, padahal tidak melayani perbaikan rujak rusak, menjawab, “Kayu nangka, Pak.” Pesan di mana? “Bikin sendiri,” katanya.
Barusan saya cek di lokapasar, ternyata ada sekian jenis bahan kayu untuk ulekan rujak: jati, gelugu aren, dan lainnya. Namun bagi saya ada satu hal penting: begitu berjaraknya saya dengan proses produksi perlengkapan untuk makanan lokal yang saya konsumsi.
Hmmm… mungkin seperti banyak anak kota tak tahu bagaimana proses sebelum nasi ada di piringnya, selain info bahwa itu berasal dari padi di sawah. Tak ada kisah menunggui air malam hari di sawah, atau bagaimana ke penggilingan untuk mengupas kulit gabah kering selain dengan lesung.
Ironis. Konten daring berlimpah, dan terus bertambah, namun tak semua orang paham bagaimana sebuah alat sederhana, tanpa teknologi tinggi, dihasilkan. Termasuk saya.
Hanya dalam masyarakat pra-industrial, yang ekonomi lokalnya bertumpu pada proses dan hasil secara subsisten, orang mengetahui bagaimana kebutuhan hidupnya terpenuhi, sedangkan yang tidak terpenuhi sendiri akan didapatkan dari barter.
Tetapi masyarakat industrial modern telah jauh meninggalkan revolusi kognitif. Informasi melewah. Bagaimana pembangkit listrik bertenaga nuklir bekerja pun dapat dipelajari. Atau bagaimana rasanya berwisata naik pesawat luar angkasa. Begitu pula mestinya cara membuat ulekan kayu, dengan maupun tanpa mesin bubut.