Minuman anak sekarang aneh-aneh

Lebih dari satu kawan saya mengeluhkan anak-anaknya yang punya banyak pilihan minuman. Mereka khawatir setelah kelak punya cucu, hal itu akan menular. Mereka mengkhawatirkan kesehatan.

Bisa dimaklumi karena setelah pensiun mereka menjalani kehidupan yang lebih sehat. Banyak jalan kaki, mengurangi atau stop rokok sama sekali, membatasi kopi dan itu pun encer tanpa gula. Lalu garam, gula, dan kolesterol mereka rem. Alkohol tamat — kecuali anggur untuk perjamuan kudus bagi yang Kristiani.

Gula. Mereka amat khawatir. Kebetulan mereka diabetisi, pengidap hipertensi, dan kadang asam urat bikin terpincang-pincang. Perihal minuman, mereka tak habis pikir kenapa banyak merek di rumahnya, demikian pula pesanan anak-anak via Gofood dan sebangsanya.

Saya bilang, secara umum masyarakat lebih makmur. Pilihan lebih beragam. Media sosial dan pergaulan menentukan asupan. Namun itu saya sertai catatan bahwa tak semuanya bergula, apalagi yang mentah seperti teh dan kopi.

Ada juga kemasygulan lain: boros, uang untuk konsumsi yang menurut mereka berlebihan. “Kayaknya puas kalo beli merek premium. Mereka nggak peduli pricing policy di balik itu. Lha aku kan dulu kerja di consumer goods, terutama FMCG,” kata salah satu.

Soal kemakmuran, seorang teman membantah, “Lebih makmur gimana? Mereka kan masih ngikut ortu, nggak bayar kos, mobil tinggal pake. Beda ama kita dulu.”

Saya tak membantah karena mereka hanya curhat, tak mengajak debat. Saya juga tak menyoal kenapa dulu di masa produktif mereka suka rokok luar dan bir impor. Bahkan permen pun impor dari Prancis. Akan lancang jika saya bertanya anak-anaknya belajar dari siapa.