Nah, ini cara bijak dan benar. Sebelum menutup jalan di sebuah kampung, warga memasang poster pengumuman, di tembok tikungan, sehingga lebih terbaca.
Saya melihat pengumuman itu tadi pagi. Kemungkinan poster itu sudah terpasang kemarin, atau malah sebelumnya. Cara ini lebih masuk akal daripada tiba-tiba menutup jalan karena sebuah keperluan.
Bukanya seharusnya begitu? Ah, beda orang beda cara berpikir. Bahkan misalnya penutupan itu mendadak, karena ada warga meninggal, sering kali penutupan tak dilakukan di titik yang terlihat. Maksud saya, sebelum tikungan menuju rumah duka sebaiknya ada pemberitaan, bisa berupa tanda misalnya bangku di tengah jalan.
Beberapa kali saya menjumpai penutupan jalan tanpa pemberitahuan. Begitu belok, pengendara langsung bersua palang atau bangku melintang. Untuk sepeda dan motor tinggal memutar balik. Untuk mobil, apalagi di belakangnya ada mobil lain, jelas merepotkan.
Seorang ibu pernah uring-uringan kepada pemilik rumah yang memasang tangga melintang di tikungan. Tangga tersebut agak rebah, diletakkan setelah gundukan jalan di atas got yang mirip poldur besar sehingga kurang terlihat. Akibatnya bemper mobil terganjal tangga tidur.
Anggota satpam dan hansip eh linmas setiap kali ditegur warga, karena mereka memasang penutup jalan terlalu mepet, kurang terlihat dari jauh, selalu cengar-cengir. Bagi petugas, kendaraan apa pun tinggal memutar balik. Saya pernah menegur, jawabanya seputar, “Biasanya juga gitu, Pak. Nggak ada masalah.”
Eh, mereka itu kan hanya pelaksana, ya? Orang yang menyuruh mereka terlalu percaya pendelegasian tugas tanpa pengawasan. Kalau ada komplain, barulah pemberi tugas menyemprot, “Kalian ini gimana, sih?”
Anak buah tidak tahu suatu hal itu mestinya diajari, bukan dimarahi. Tetapi begitulah, memarahi itu lebih gampang ketimbang mengajari, lagi pula lebih lekas. Memang tak mudah menjadi pemimpin maupun pendidik.