Evolusi sabut cuci piring

Buat apa tahu dulu orang cuci piring menggunakan sabut kelapa dan gambas?

▒ Lama baca < 1 menit

Evolusi sabut cuci piring: sabut kelapa, gambas oyong, sampai Scotch Brite — Blogombal.com

Kita semua akrab dengan sabut cuci piring berupa spons, dengan beragam jenama. Semuanya kita anggap barang biasa. Hanya pelamun kurang gawean yang memikirkan perjalanan si sabut itu.

Tadi saat memesan spons di Alfagift saya sempat berpikir agak keras untuk memasukkan kata kunci. Akhirnya tersua: sabut cuci piring. Biasa, ini penyakit orang tua: mulai pikun. Padahal kata “sabut” lebih sederhana ketimbang “hermeneutika” maupun “tepermanai”.

Evolusi sabut cuci piring: sabut kelapa, gambas oyong, sampai Scotch Brite — Blogombal.com

Maka tadi setelah pesanan datang saya mencoba mengingat kapankah terakhir kali saya, setelah dewasa, menggunakan sabut kelapa maupun gambas kering untuk asah-asah atau isah-isah — orang Jatim menyebutnya korah-korah. Saya gagal mengingatnya untuk sabut kelapa, namun untuk gambas atau oyong masih memakainya belasan tahun silam.

Evolusi sabut cuci piring: sabut kelapa, gambas oyong, sampai Scotch Brite — Blogombal.com

Akan tetapi saya ingat bahwa sebelum ada spons cuci piring, sudah lumrah kantong plastik nan lemas menggantikan sabut alami. Dulu bahan pencuci piring yang lumrah adalah krim detergen, atau sabun colek, yang baunya keras.

Adapun model cairan baru ada Sunlight, sedangkan krim cairan pengusir minyak adalah Vim. Kini mereknya lebih beragam. Demikian pula aromanya.

Banyak barang kagunan mengalami evolusi namun kita sering lupa. Lalu manfaatnya apa kalau memiliki info itu? Tergantung kepentingan. Penulis novel, penulis skenario, dan periset properti pembuatan film memerlukannya.

Evolusi sabut cuci piring: sabut kelapa, gambas oyong, sampai Scotch Brite — Blogombal.com

Film yang sembrono, padahal menggunakan pendekatan historis, bisa menampilkan properti yang anakronistis. Mungkin karena alasan bujet, atau malah, “Ngapain serius? Penonton juga enggak peduli!”

7 Comments

Badu Rabu 16 April 2025 ~ 11.16 Reply

wah, saya baru tahu kalau di selatan bisa dan di utara tidak. kira2 itu kenapa ya mas?

Pemilik Blog Rabu 16 April 2025 ~ 12.44 Reply

Saya belum menemukan jawaban. Di Kutoarjo, induk semang saya di desa selama tiga bulan, dulu juga nylumbat. Tetapi di Jateng utara maupun Selatan, mengupas degan — bukan kelapa muda untuk botok — menggunakan parang.

Kelapa enom dan degan tentu berbeda, bukan? 😇

Badu Rabu 16 April 2025 ~ 20.43 Reply

Aha! Kelapa enom dan degan. Duh, bothok. Saya paling cocok sama bothok mlandhing :) Kemarin pas mudik ketemu handai tolan dan famili (biasa disebut “sanak kadang”) dan tiba2 mendengar lagi dua makanan yg sudah lama tidak mampir namanya ke kuping saya: pelas dan bongko. Yes, kacang tholo! Jadi inget ragilnya Mr. Rigen: King Tholo-Tholo.


Bothok!

Pemilik Blog Rabu 16 April 2025 ~ 21.08

Kadang saya masih mendapatkan bothok mlandhing. Malah dulu istri saya kadang bikin. Kalo bongko saya sudah puluhan tahun gak merasai.

Salam pènggèng èyèm Klaten.

Badu Senin 14 April 2025 ~ 18.08 Reply

gara2 baca postingan ini saya jadi ikutan ngubek2 marketplace buat ngintip2 sabut cuci piring. ternyata yg dijual hanya sabutnya saja ya, tanpa kulit kelapanya (exocarp). seingat saya dulu si kulit keras ini berguna sebagai handel bagi tangan kita waktu isah2 pakai sabut kelapa. tentunya dulu nggak perlu beli, karena tinggal ngambil dari sisa2 kegiatan mengupas kelapa. ah, nylumbat kambil. skill tersendiri di masanya.

Pemilik Blog Senin 14 April 2025 ~ 18.26 Reply

Aha!
Slumbat? Mengupas sabut kelapa dengan memanfaatkan linggis yang ditancapkan berdiri. Orang-orang Jateng Selatan bisa, tapi di utara tidak.

Ibu saya sekarang 92, waktu masih muda, artinya saya belum sekolah, dan kami pindah dari Yogya ke Salatiga, Ibu saya nylumbat bikin heran tetangga.

Badu Rabu 16 April 2025 ~ 11.18 Reply

wah, saya baru tahu kalau di selatan bisa dan di utara tidak. kira2 itu kenapa ya mas?

Tinggalkan Balasan