Apa yang saya andaikan di toko parfum isi ulang di Pasar Kecapi, Jatiwarna, Pondokmelati, Kobek, akhirnya terbukti di kios elpiji dan galon Aqua di tempat lain.
Soal apa? Posisi toko di tikungan, dengan pintu lebar di depan dan samping yang mengundang orang untuk memintas jarak.
Siang itu, seorang ibu yang berjalan kaki, sekeluar dari warung Padang langsung masuk ke kios elpiji di sebelah, lalu keluar dari pintu samping, menuju mobilnya yang dia parkir di tempat lain. Ibu itu tak bilang permisi kepada perempuan pemilik toko yang sedang bekerja di depan komputer.
Saya menduga memang naluri setiap manusia yang berkesadaran spasial untuk memintas jarak. Salah satunya memintas jarak secara diagonal. Waktu saya bocah pernah mengamati anjing berlari secara diagonal di lapangan kampus UKSW, Salatiga, Jateng, menuju ke titik lain.
Sepuluh menit kemudian dari ujung lain dia juga menyeberangi lapangan secara diagonal. Saat itu saya menyimpulkan anjing seperti manusia, tahu rute terpendek atau potong kompas. Saya juga mengandaikan burung lebih leluasa, karena terbang sehingga tak terhadang kelokan jalan, bisa memilih rute lurus di udara.
Namanya juga pikiran bocah. Saya belum tahu peta rute imigrasi burung dari Siberia ke Australia. Ternyata tak lurus amat karena sejumlah faktor. Saya tak tahu rute jejak pantauan GPS merpati pos dari Bali ke Jakarta selama dua hari.
Kembali ke manusia pejalan kaki, yang menjadikan ruang toko sebagai jalan, apa saja masalahnya? Pertama: naluri shortcut. Kedua: etiket. Ketiga: kondisi lajur pedestrian centang perenang akibat regulasi bangunan tak ditegakkan, dulu bernama IMB kini PBG (Persetujuan Bangunan Gedung).
Saya pernah terkesan oleh kawasan bisnis Adelaide, Australia, yang modern. Untuk berpindah gedung orang bisa memintas taman di antara gedung, tak perlu ke jalan raya dulu seperti di Jakarta. Kompleks Plaza Senayan adalah contoh yang bagus dalam skala kecil. Dari Jalan Asia Afrika, pejalan kaki tinggal melangkah masuk, ada akses berundak lebar tak terjal. SCBD belum sepenuhnya begitu, bahkan trotoar di sebelah Polda Metro itu teramat sempit.
Dulu saya membayangkan jika area seputar Wisma Anggana Danamon, Jalan Sudirman, tak tersekat oleh pagar, semuanya dengan plaza yang ramah publik, tentu bagus. Sayang, setelah menjadi Sampoerna Strategic Square (¬ lihat SGPC), makna square dalam pelataran gedung itu lenyap, karena ada pagar tinggi.
Memang sih, ada alasan kuat dari pemilik properti: keamanan, apalagi setelah Kerusuhan Mei 1998. Tetapi itu tugas polisi dan satpam dengan personel dan peralatan tangguh. Kerepotan damkar mengatasi kebakaran di Glodok Plaza tempo hari antara lain karena akses bagi mobil pemadam.
Saya tak tahu bagaimana tata ruang IKN. Katanya sih ramah pejalan kaki. Namun menurut berita terbaru, di sana banyak tikus di lajur pedestrian.
Sebenarnya soal kebutuhan memintas jarak bukan hanya dalam kawasan bisnis. Di desa maupun perkampungan kota zaman dahulu, ketika pembatas halaman berupa tanaman atau hanya pagar bambu, memintas halaman tetangga itu wajar. Tinggal bilang permisi kepada tuan rumah, “Ndhèrèk langkung.”
Dengan cara itu pula silaturahmi berlangsung karena terjadi percakapan singkat dari mana mau ke mana.
Kalau seorang warga sedang jothakan, atau dalam perang dingin, tentu tak usah melintasi halaman tetangga. Jalan memutar adalah solusi.
¬ Peta migrasi burung: Climate4Life